** Â Â Â
Beberapa hari berikutnya, harapan Silvi terkabul. Sore itu ia baru saja tiba di rumah. Seminar nasional di Badan Bahasa yang diikutinya membuatnya letih. Namun keletihan gadis blasteran Sunda-Inggris itu terbayar seketika dengan kehadiran seseorang: Calvin.
Ya, Calvin menjemputnya. Silvi benar-benar dibuat kaget oleh kedatangan Calvin. Semula, dikiranya Calvin datang menjemput Clara. Ternyata tidak. Calvin datang untuk Silvi.
"Dinner?" ulang Silvi tak percaya. Harapannya menjadi nyata.
"Iya. Kita dinner. Kamu mau makan apa?" tanya Calvin, melempar senyum simpatiknya.
Tubuh Silvi gemetar. Bukan karena takut, tetapi gugup bercampur excited.
"Bagaimana kalau pasta?" Suaranya tak lebih dari bisikan.
"Pasta? Okey, ada tempat bagus dan recomended di dekat sini."
Kedua kaki Silvi terasa berat seakan digantungi barbel ketika memasuki kamarnya. Bersiap-siap, memilih baju. Mempertimbangkan dress apa yang akan dipakainya. Begitulah Silvi yang anggun dan cantik. Dia punya style sendiri. Terlebih salah satu side job-nya selain penulis adalah model. Tiap kali modeling, baju yang diperagakannya adalah dress.
Gugup luar biasa, gadis cantik itu sengaja mengulur waktu. Memastikan dirinya cukup cantik sebelum beranjak keluar kamar. Ia ingin tampil sempurna di depan Calvin Wan.
Di ruang depan, Calvin tengah berbincang dengan Nyonya Atikah. Sikap Nyonya Atikah tak sedingin sebelumnya. Ia jauh lebih percaya pada Calvin.