Sepotong kenangan lama terlintas. Kejadian itu sudah lama berlalu. Momen yang membiaskan ketakutan di benak Silvi. Meski pada akhirnya Calvin tetap berpikiran positif, tak berkonfrontasi dengan keluarganya, bahkan menjaga Silvi sepenuh hati, tetap saja ketakutan dan keresahan itu membekas di hati. Setelah enam bulan, delapan hari, dan dua belas jam terpisah, akhirnya Silvi dan Calvin bertemu lagi.
Akan tetapi, sekarang segalanya berubah. Sejak benih-benih cinta terlarang tumbuh di hati Clara dan Calvin. Cinta itu tak seharusnya ada.
Silvi menggigit bagian dalam pipinya. Untuk bahagia saja sulit sekali. Tepatnya untuk memilih kebahagiaan itu. Dalam situasi begini, Silvi merasa makin kesepian. Rasa kesepian menyelusup ke benaknya.
Apakah kesempatan untuk berbahagia dan bersama orang lain itu dilarang? Benarkah Silvi akan terus-menerus merasa kesepian? Lalu, secepat itukah hati Clara berbalik dan menjadi inkonsisten? Dulunya ia membenci Calvin. Kini dia justru mencintainya. Bahkan berani mendua di belakang Adica.
Bantal dan boneka di sudut ranjang ia raih. Dipeluknya erat. Ia lampiaskan perasaan dengan memeluk benda-benda kesayangannya. Inilah puncak kesepian, keresahan, dan kegelisahan Silvi. Silvi yang cantik, kesepian, dan patah hati. Perasaan kesepian berbaur dengan perasaan tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak dicintai. Sungguh, ini tak mudah.
Silvi merindukan Calvin. Mungkin saja Calvin tak pernah merindukannya. Mungkinkah gadis itu harus menunggu selama enam bulan, delapan hari, dan dua belas jam untuk bisa bertemu Calvin lagi? Benar-benar bertemu dengannya, hanya dengannya.
Ruang hampa di hatinya kian berat menyiksa. Beginilah rasanya menahan kesepian dan kegelisahan. Sampai kapan Silvi tenggelam dalam keresahan?
Sejujurnya, awal-awal perkenalannya dengan Calvin cukup memberikan kesan manis. Calvin yang tampan, baik hati, setia, konsisten, dan berdarah keturunan telah memikat Silvi. Sejak dulu, gadis itu sangat pemilih. Hanya ingin bersama pria berdarah campuran. Silvi punya alasan. Pertama, ingin mencari seseorang yang sama dengannya. Di mata Silvi, pria berdarah campuran akan jauh lebih pengertian dan perasa. Sebab mereka tahu rasanya bagaimana berbeda dari orang lain, bagaimana dipanggil aneh-aneh lantaran darah campuran yang mereka miliki, dan mereka lebih toleran terhadap perbedaan. Kedua, faktor naluri. Intuisi menuntun Silvi untuk dekat dan hanya dekat dengan pria blasteran. Dia enggan bersama pria berdarah Indonesia asli. Ini bukan soal rasis, melainkan instingtif. Ketiga, ingin mempertahankan keturunan yang baik. Menikahi pria blasteran, otomatis Silvi akan mempertahankan gen yang bagus. Tidak seperti kedua orang tuanya. Mama-Papanya tidak mendapatkan gen Indo sama sekali. Silvi tidak mewarisi kecantikan dan mata biru itu dari mereka, tapi dari dua generasi sebelumnya. Di antara sekian banyak saudara dan sepupunya, hanya Silvi yang memilikinya. Makanya Silvilah yang dibilang tercantik dalam lingkaran keluarga. Waktu kecil, Silvi satu-satunya anggota keluarga yang mendapat julukan "Bule" di luar sana. Dia pun senang karena kini Sarah memilih calon suami berdarah campuran Melayu-India. Itu artinya, ada gen bagus yang masih bisa dipertahankan. Terpendam benih kecil harapan di sudut hatinya. Clara akan menikahi pria blasteran pula. Tak tahu itu Adica atau siapa pun, yang penting ada gen baik yang bertahan. Silvi amat mengharapkannya.
Entah, dekat dengan Calvin pun soal naluri. Sebelum Calvin mengakui ketionghoaannya, Silvi sudah lama tahu. Sesama blasteran pasti akan mudah saling mengenali satu sama lain. Mereka lebih mudah saling menemukan dan mendekatkan diri. Feeling dan mata hati berperan besar di sini.
Dering ponsel menyadarkannya. Tanpa melihat nama peneleponnya, Silvi menggeser 'answer' di trackpad.
"Silvi, I have a good news."