Silvi masih terlalu kecil, ia pastilah bukan wanita yang masuk dalam kriteria wanita pilihan blogger super tampan itu. Calvin pastilah memilih wanita cerdas, pintar, dan dewasa. Mana mungkin Calvin menyukai gadis manja, sulit ditebak, keras kepala, suka tebar pesona, dan low vision seperti dirinya? Silvi tahu diri.
Suara tepuk tangan membuyarkan lamunannya. Disambuti wangi Bath & Body Works. Sedetik kemudian Clara telah duduk di sampingnya.
"Kok nyanyiin lagunya Perahu Kertas?" selidik Clara to the point.
"Ya...kebetulan aja pengen nyanyi lagu itu. Memang kenapa?" Silvi berusaha mengelak, menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
"Ah pintar ngeles kamu. Pasti kamu lagi curhat ya? Ada apa sih?"
Silvi menghela napas. Menggeser kursinya dua setengah senti lebih jauh. Clara memajukan bibirnya, tak senang dengan jarak yang diciptakan adiknya.
"Tulisanku tadi pagi menuai banyak komentar. Banyak blogger yang gemas denganku. Mereka kira aku berubah. Bahkan ada yang menyebut tulisanku sebagai pengkhultusan pada sosok blogger tertentu, itu membuatku tersinggung. Hanya Calvin yang tahu kalau pola tulisanku tidak berubah. Dia mengerti, sangat mengerti. Itu yang membedakan Calvin dengan blogger lainnya. Dia memahamiku. Inilah yang kubutuhkan."
Sebentar saja Clara langsung mencerna penjelasan Silvi. Ia bisa melihat ada yang lain dalam pancaran mata Silvi. Namun Clara belum bisa memastikan. Sinar mata yang lain, raut wajah yang melembut saat menyebut nama Calvin, ujung bibir yang melengkung indah ketika membicarakan Calvin. Apa artinya itu?
"Calvin memang baik dan pengertian. Dia..."
Reminder di ponselnya berbunyi. Clara spontan menepuk dahinya.
"Oh tidak, aku sudah janji! Malam ini aku akan telepon Calvin! Memastikannya baik-baik saja dan memupus keinginannya untuk bunuh diri!"