"Okey, kita bahas soal pernikahan dan reaksi negatif keluarga besarmu. Kalau boleh aku tahu, mengapa sampai sekarang kamu tidak menikah?"
"Aku tidak laku, Clara. Siapa yang mau menikahi pria sepertiku? Menjaga anak saja tidak bisa, apa lagi..."
"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Calvin. Kamu pria yang sangat baik. Apa tidak sebaiknya kamu segera menikah? Pasti banyak wanita yang mau menikah denganmu. Pernikahan bisa menghindarkan dirimu dari stigma negatif. Aku yakin, pernikahan dilandasi cinta akan mempercepat kesembuhanmu."
Inilah letak permasalahannya. Calvin sendiri tak tahu, siapa wanita yang ingin ia nikahi. Tepatnya wanita yang ia cintai. Berkali-kali gagal dalam percintaan membuat Calvin mati rasa. Ia enggan mencoba lagi.
"Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tapi, cobalah pikirkan baik-baik saranku. Sekarang, kita fokus pada trauma pasca kehilangan Angel. Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Pertanyaan membingungkan. Bagaimana ia harus menjawab? Pria berwajah rupawan itu terdiam menatap Clara.
"Aku selalu merasa bersalah. Lebih baik aku saja yang meninggal, bukan Angel. Aku menginginkan kematian."
Detak jantung Clara bertambah cepat mendengar kalimat terakhir Calvin. Ini gawat, pikirnya. Tak bisa dibiarkan. Traumanya sudah mencapai tingkat akut. Bukan hanya trauma, ada kecenderungan depresi dan tekanan jiwa yang sangat berat. Menginginkan kematian telah menjadi pertanda.
"Calvin, kamu yakin ingin segera pergi menyusul Angel?" usik Clara lembut.
"Sangat yakin. Tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku sudah kehilangan Mama, lalu putriku meninggal. Apa lagi yang bisa kuharapkan?" ujar Calvin putus asa. Gurat kesedihan mendominasi wajah tampannya.
"Bagaimana dengan Papamu? Adica? Silvi? Para pembaca setiamu di media citizen journalism itu? Memangnya kamu tidak sayang pada mereka?"