"Pakailah. Kalau kurang, katakan padaku. Aku akan memberikannya lagi. Yang penting, pernikahanmu berjalan lancar."
Intan mengambilnya dengan penuh terima kasih. Ditatapnya mata sepupunya lekat-lekat. Biarpun angkuh dan dingin, Clara memiliki hati yang baik.
"Kamu yakin dengan pernikahanmu? Tinggal satu bulan lagi...kamu siap dengan konsekuensinya? To the point saja ya, kurasa kamu dan calon suamimu belum siap untuk menikah. Kondisi finansial kalian belum cukup." tukasClara terus terang.
Mendengar pendapat Clara, Intan menarik napas panjang. Dalam hati membenarkannya. Namun ia sudah terlanjur membulatkan tekad. Apa pun yang terjadi, ia harus menikah bulan depan.
"Clara, aku memang tidak sesukses kamu. Keluargaku juga tidak sekaya keluargamu. Tapi, aku menikah karena cinta. Aku sudah siap menikah karena cinta." Intan menjelaskan.
"Apa cinta saja cukup? Kupikir, menikah tidak hanya soal cinta. Cobalah realistis. Untuk pernikahanmu saja, kamu dan keluargamu harus berhutang pada banyak orang. Itu untuk resepsi pernikahannya, bagaimana untuk hidup selanjutnya?"
Clara seumuran dengan Intan. Namun Clara jauh lebih sukses dengan kariernya. Sedangkan Intan belum mendapat pekerjaan tetap. Hanya pegawai kontrak biasa. Berbanding jauh dengan Clara yang sukses dan cantik. Namun dalam segi asmara, Intan jauh lebih sukses. Benar bahwa kebahagiaan di satu titik akan mengurangi kebahagiaan di titik lainnya. Kebahagiaan tidak bisa didapatkan seutuhnya dalam setiap aspek kehidupan.
"Gampang kamu bicara begitu, Clara. Kamu kan punya Adica. Pria kaya, pengusaha terkenal. Kalau kamu jadi istrinya, bukan hanya cinta yang terpenuhi. Tapi..."
"Stop. Jangan bawa-bawa Adica. Lagi pula, aku dan Adica belum berencana menikah. Aku membicarakanmu, bukan Adica." potong Clara.
"Oh baiklah baiklah. Aku memang tidak seperti dirimu. Ini pilihanku. Aku dan calon suamiku yang menanggung konsekuensi dari pilihan kami."
Perkataan diplomatis. Clara menyesap lemon tea-nya, lalu berkata.