Silvi mencurahkan seluruh perhatiannya hanya untuk Calvin. Tak mau membagi perhatian untuk blogger lain. Secara tidak langsung, Silvi sudah tebar pesona. Banyak blogger yang ingin bicara padanya. Banyak yang tertarik, banyak yang memperhatikan. Tapi Silvi tak sadar. Fokusnya hanya pada Calvin semata.
Sebenarnya mereka berdua telah berhasil tebar pesona. Silvi Mauriska dan Calvin Wan, lovely brother dan lovely sister tebar pesona di acara gathering terbesar para blogger dan netizen itu. Calvin saja sudah charming, terlebih Silvi. Tak heran banyak orang memperhatikan mereka. Lebih banyak lagi yang tertarik. Sayangnya, Silvi dan Calvin sulit didekati. Keduanya hanya mau terbuka satu sama lain, tak mau terbuka dengan blogger lainnya.
Calvin dan Silvi berpegangan tangan. Sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Dunia terasa milik berdua. Apakah para blogger yang lewat memandangi mereka? Mungkin saja, namun sekali lagi, mereka tak peduli.
"Calvin, ada satu hal yang kukhawatirkan." Di luar kemauannya, Silvi mulai mengungkapkan beban kekhawatiran yang terpendam di dasar hati.
"Apa lagi yang kamu khawatirkan, Silvi?"
"Setelah menghadiri acara ini, aku akan bertemu calon kakak iparku. Calvin, sulit bagiku menerima orang baru dalam keluarga. Aku takut dia jahat. Bagaimana jika dia malu punya adik ipar sepertiku? Aku pernah punya pengalaman buruk soal itu."
Hanya sedikit orang yang tahu kalau Silvi punya kakak. Ia jarang sekali bercerita tentang keluarganya. Calvin adalah satu dari sedikit orang yang tahu soal itu.
"Tidak perlu khawatir, Silvi. Belum tentu hal buruk akan terjadi. Belum tentu juga dia akan menjadi kakak iparmu. Trauma pada masa lalu mungkin masih membekas, tapi jangan biarkan pengalaman traumatik memerangkapmu dalam rasa khawatir yang berlebihan." ujar Calvin menenteramkan.
Otomatis Silvi mengeratkan genggaman tangannya. Menatap lekat-lekat wajah Calvin, berusaha mencari ketenangan di sana. Ya, ketenanganlah yang ia dapatkan. Menatap wajahnya, mendengar suaranya, dan memegang tangannya, membiaskan ketenangan di hati Silvi.
"Calvin, aku takut dia bukan orang baik." lirih Silvi.
"Aku menyesal, kenapa kakakku harus memilih orang lain? Bukannya sepupu jauhku yang berusaha kujodohkan dengannya. Sepupu jauhku itu jauh lebih baik. Dia sangat memahami keluargaku. Sekarang dia sudah sukses mengelola bisnis kulinernya. Sayang sekali, kakakku tak mau."