Di antara keluarganya, Silvi layaknya boneka hiasan saja. Tak dilibatkan, tak diajak bicara. Seakan ia hadir dalam pertemuan ini hanya sebagai pelengkap. Di sekelilingnya, Mama-Papanya begitu bahagia. Kedua kakaknya tersenyum tanpa beban. Hanya Silvi yang terlihat tidak bahagia.
Mungkin calon kakak iparnya malu akan memiliki adik ipar seperti dirinya. Separah itukah dirinya? Hati Silvi meneriakkan ketidakrelaan. Mengapa situasi justru seperti ini?
Jangan harap ada tatapan lembut dan ekspresi bahagia di wajah Silvi seperti ini. Cukup tatapan dingin dan wajah mengintimidasi yang Silvi tunjukkan pada si calon kakak ipar. Tersenyum sedikit pun tidak. Buat apa respek pada orang yang tidak bersikap baik? Bila Silvi selalu memberikan tatapan lembut dan menampakkan senyum bahagia untuk Calvin, ia takkan memberikan dua hal itu pada calon kakak iparnya.
Mata Silvi terpejam untuk ketiga kalinya. Mensugestikan energi positif dalam hatinya yang dipenuhi rasa takut. Ia mengingat Calvin dan kelembutan yang ditawarkannya. Ada racun cinta di tempat ini, namun Silvi berhasil mengobatinya dengan ingatan tentang kebaikan seseorang yang disayanginya.
Silvi kembali mengingat kata-kata Calvin. Adikku yang charming, begitu katanya. Ia tak perlu lagi merasa resah karena perlakuan calon kakak iparnya.
"Calvin Wan...I love you. Terima kasih telah membuatku tenang."
** Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H