"Don't be affraid, Silvi. Just let it flow. Belum tentu hal buruk akan terjadi." ucap Calvin lembut. Kelembutan yang menenangkan hati.
Kelembutan dan kehangatan Calvin itulah yang membawa Silvi pada ketenangan saat kembali menemui keluarganya. Di hotel, keluarganya mulai bertanya macam-macam tentang Calvin. Mereka mencurigai Calvin. Kecurigaan yang wajar, namun berlebihan menurut Silvi. Apakah mereka tidak bisa melihat dengan kacamata positif? Bukankah Calvin Wan cukup baik?
"Silvi Sayang, sini Mama bantu make up. Kamu harus cantik saat ketemu calon kakak ipar nanti." Mamanya tersenyum lembut, telah berdiri di depan cermin dengan beauty case di tangan.
Ragu-ragu, Silvi beranjak bangkit. Menghampiri sang Mama. Menurut saja saat wanita 52 tahun itu merias wajahnya. Ingin mencoba menjadi anak manis sesekali saja.
"Sayang, siapa sebenarnya Calvin Wan?" Tanpa diduga, Mamanya melemparkan pertanyaan itu.
"He's my lovely brother," jawab Silvi tegas.
"Are you sure? Kenapa Mama tidak suka padanya, ya?" komentar Mama to the point.
"Terserah. So far, aku menyukainya. Dia cukup baik. Lagi pula, aku tidak akan menikah. Jadi, perasaanku padanya tidak akan mengarah pada cinta seperti itu. Memangnya aku seperti kakak-kakak perempuanku? No way..."
Mama terdiam. Menatap sekilas wajah putrinya. Silvi beruntung terlahir dengan wajah yang paling cantik di antara kakak-kakaknya. Penampilannya pun paling anggun di antara mereka. Ia mewarisi mata biru dari nenek buyutnya, dua generasi sebelumnya yang keturunan Eropa. Tak satu pun anak dan cucu dari dua generasi setelahnya mewarisi itu. Hanya Silvi yang memilikinya.
Setengah jam kemudian, mereka turun ke lobi. Bergegas meninggalkan hotel. Menemui calon kakak ipar yang selama ini dibangga-banggakan.
Apa yang ditakutkan Silvi terjadi. Sang calon tak berinteraksi sedikit pun padanya. Melirik pun tidak. Meski demikian, ia respek terhadap anggota keluarga yang lain. Rasa takut kembali menyergap hati Silvi. Beberapa kali ia memejamkan mata, berusaha memikirkan hal lain. Yang terlintas di pikirannya justru ingatan tentang Calvin. Calvin Wan yang rupawan, setia, sabar, dan konsisten. Calvin yang menggenggam lembut tangannya, menenangkannya. Calvin, blogger tampan yang berbakat dan menunjukkan konsistensinya di media itu. Semua ingatan tentang Calvin membuat Silvi tenang.