Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Pengganti, Pembuka Hati (3)

8 Oktober 2017   06:27 Diperbarui: 8 Oktober 2017   06:47 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siapa bilang Calvin Wan hanya bisa menulis dengan konsisten? Tidak, ia multitallented dan penuh pesona. Malam ini, Calvin menunjukkan seluruh auranya. Bukan di atas catwalk seperti biasa. Melainkan di panggung kecil di tengah cafe.

Calvin tak hanya menyanyi. Ia pun memainkan piano putih di depannya dengan kesepuluh jarinya. Jemari lentik Calvin menari lincah di atas tuts hitam-pputih itu. Konsentrasinya tak terpecah sedikit pun. Menyanyi sambil bermain piano butuh konsentrasi tinggi.

Kau wanita yang utuh

Sempurna tuk dicintai

Beri ku sedikit waktu

Tuk buktikan diriku yang pantas mencintai dirimu

Ku tak peduli dengan semua kenangan masa lalumu

Yang ku tahu kini ku sepenuhnya mencintaimu

Dengan semua tingkahmu

Tutur kata manismu

Ketulusan cintamu

Kau wanita yang utuh

Sempurna tuk dicintai

Beri ku sedikit waktu

Kau wanita yang utuh

Sempurna tuk dicintai

Beri ku sedikit waktu

Tuk buktikan diriku yang pantas mencintai dirimu

Dengan semua tingkahmu

Tutur kata manismu

Ketulusan cintamu

Kau wanita yang utuh

Sempurna tuk dicintai

Beri ku sedikit waktu

Kau wanita yang utuh

Sempurna tuk dicintai

Beri ku sedikit waktu

Tuk buktikan diriku yang pantas mencintai dirimu

Kau wanita yang utuh

Sempurna tuk dicintai

Beri ku sedikit waktu

Kau wanita yang utuh

Sempurna tuk dicintai

Beri ku sedikit waktu

Tuk buktikan diriku yang pantas mencintai dirimu (Calvin Jeremy-Utuh).

Cukup satu lagu. Ya, satu lagu saja sudah membuat Calvin berhasil merebut hati para pengunjung cafe. Para tamu, khususnya tamu wanita, dibuat kagum oleh penampilan si penyanyi baru. Sejak tadi siang, telah beredar rumor bahwa akan ada penyanyi baru di cafe ini. Ternyata benar. Kehadiran si penyanyi baru langsung merebut atensi semua orang.

Bukan hanya karena suara bassnya yang empuk dan merdu. Ketampanannya pun di atas rata-rata. Jangankan saat tersenyum, tanpa senyum sekalipun Calvin tetaplah menawan. Calvin Wan beruntung dianugerahi wajah oriental yang tampan.

Usai lagu pertama, cafe dipenuhi suara tepuk tangan. Mulailah para pengunjung cafe mencari perhatian. Salah satunya dengan cara request. Calvin hafal banyak sekali lagu. Menjadi penyanyi cafe sama sekali bukan hal sulit baginya.

Sekejap saja Calvin menjadi idola baru. Pakaian yang membalut tubuh semampainya malam ini terkesan sederhana tapi tetap rapi. Bukan pakaian branded, justru kelihatan sederhana. Namun kesan elegan tak lepas dari sosoknya. Calvin mampu membawa diri. Di sini, dia adalah penyanyi cafe. Bukan model, bukan pula general manager. Lagi pula, Calvin ingin menyamarkan identitasnya. Demi kelancaran rencana.

Request demi request dipenuhinya dengan senang hati. Bahkan ada salah satu pengunjung yang memintanya menyanyikan lagu berbahasa Mandarin. Lagi-lagi, itu bukan masalah. Bakat bermusik dipadu dengan kecerdasan linguistik memudahkan segalanya.

Tebar pesona, itulah yang sedang dilakukan Calvin. Langkah pertama dari rencananya. Penyamarannya sukses besar. Cukup banyak pengunjung cafe yang memberikan tip. Sama seperti Revan, Calvin pun akan digaji oleh si pemilik cafe. Jumlah gaji mereka sama. Tak ada pilih kasih sama sekali.

Cafe yang terkenal dengan sajian pasta ini mendadak lebih ramai dari biasa. Rupanya, para pengunjung cafe-yang sebagian besar generasi milenial itu-sengaja check in di Path dan posting foto di Instagram. Pokoknya mereka update di semua sosial media tentang hadirnya penyanyi baru yang penuh pesona. Alhasil, followers mereka penasaran. Tak sedikit yang membuktikan dengan datang sendiri ke cafe. Ingin melihat langsung si penyanyi charming.

Tak ragu lagi dengan ketampanan si penyanyi baru, para followers yang penasaran itu pun ikut mengunggah status ke sosial media. Begitulah seterusnya. Sampai cafe ini tak pernah sepi pengunjung. Tiap kali ada yang pergi, lebih banyak lagi yang datang.

Datangnya para pengunjung memberi keuntungan tersendiri bagi Calvin. Dalam waktu relatif singkat, ia mengantongi pemasukan tambahan yang tidak terduga. Awalnya iseng, hanya bagian dari rencana, ternyata menghasilkan keuntungan double.

Selama hal itu terjadi, apakah Revan merasa iri? Ternyata tidak. Ia bahkan tersenyum. Memperhatikan Calvin dengan penuh ketertarikan. Sama seperti Calvin yang menganggap Revan pribadi yang mengagumkan, Revan pun terkesima pada Calvin. Satu kesan Revan untuk Calvin: pria oriental yang berbakat dan memesona.

Revan tidak menilai Calvin sebagai rival. Ia justru ingin berteman dengannya. Maka, Revan tak keberatan saat Calvin mengajaknya bernyanyi bersama. Duet antara Calvin featuring Revan membuat seisi cafe makin terbius pesona. Dua penyanyi tampan berduet membawakan Stitches dari Shawn Mendes. Beberapa tamu wanita tak segan memotret mereka. Revan terkejut, jelas tak siap dengan kelakuan mereka. Sementara Calvin rileks saja. Sudah terbiasa menghadapi fans. Ada fans, ada haters kan?

**      

Ruang kerja manager di lantai dua cafe dipenuhi tawa. Mereka berempat terus saja tertawa sejak tadi. Intens memperhatikan tingkah Calvin dari CCTV.

"Calvin maunya apa sih? Asli, kocak banget!" Elby berkomentar di sela tawanya.

"Dia lagi tebar pesona. Kalian kayak nggak kenal Kak Calvin aja," jelas Syifa.

"Tebar pesona sih tebar pesona. Tapi kok sampai segitunya? Itu tebar pesona atau cari perhatian ya?" timpal Adica.

"Biarin aja. Kita lihat Calvin Wan beraksi. Kalau dipikir-pikir, dia pintar membawa diri. Di kantor, dia berwibawa. Di catwalk, dia profesional. Di rumah, dia kebapakan. Di cafe, dia kocak." Albert mengakhiri, tersenyum lebar memandangi cctv.

Sebenarnya cafe ini milik teman baik Adica. Sedikit-banyak ia tahu rencana besar mereka. Bahkan ia mendukung ketika Revan direkomendasikan sebagai mata pengganti. Ia tahu persis track record Revan dan Calvin. Tak heran bila Calvin dengan mudah diterima bekerja sebagai penyanyi di cafe ini.

"Oh lihat! Calvin ajak si Revan nyanyi bareng! Cool!" Adica berseru antusias.

Sontak perhatian mereka kembali tertuju ke CCTV. Melihat bagaimana cara Calvin mendekati Revan. Di sinilah persahabatan mereka mulai terjalin akrab.

"Assalamualaikum."

Pintu ruangan manager terbuka. Seorang gadis cantik dengan tinggi sekitar 170 senti dengan rambut keriting spiral melangkah masuk. Senyuman merekah di wajahnya. Sekilas ia terkesan sebagai gadis berpembawaan ceria dan keibuan.

"Waalaikumsalam. Nah, akhirnya datang juga. Sini Nanda, sini. Kamu harus lihat." sambut Syifa seraya menarik tangan Nanda. Mengajak gadis itu duduk di antara mereka.

Ananda Cecilia Munggaran, salah satu teman wanita yang lumayan dekat dengan Calvin. Mantan Mojang Kota Cimahi. Putri tunggal Dokter Rustian. Lulusan Universitas Padjadjaran. Berbagai ajang pageants telah diikutinya. Perkenalannya dengan Calvin terjadi saat Nanda menjadi penari bersama Silvi saat malam grand final pemilihan Koko Cici Indonesia. Saat itu, Calvin menjadi salah satu finalisnya. Dan kebetulan ia terpilih sebagai pemenang. Praktis, selama setahun penuh Calvin mengemban amanah sebagai duta budaya Tionghoa. Setahun bertugas sebagai duta, mulailah Calvin berteman baik dengan Nanda.

"Wow Calvin. Adorable..." desis Nanda.

"Jadi, episode berapa nih aku mulai gabung di rencana kalian?"

"Tenang dulu Nanda, tenang. Baru juga episode pertama. Tugas kamu baru dimulai nanti." kata Elby menenangkan.

Nanda tertawa manis. "Okey baiklah. Aku sudah tak sabar melakoni peranku."

"Malam ini, peranmu adalah jadi tukang make up. Bentar lagi rencana kedua."

Bukannya tersinggung dengan kata-kata Adica, Nanda malah tersenyum dan mengangguk. Semuanya perlu proses. Tak perlu terburu-buru.

Sejurus kemudian, Nanda membuka tasnya. Mengeluarkan peralatan make up, kumis palsu, wig, dan beberapa aksesoris. "Let's start. Sebaiknya kita mulai sekarang. Soalnya proses make upnya lama. Adica, kamu duluan."

"Why should I?" Adica mengangkat alis, tapi toh mendekat juga. Pasrah saat Nanda merias wajahnya dan menambahkan kumis palsu.

"Ingat ya. Pokoknya, kalian harus benar-benar maksimal saat melakukan rencana kedua." tukas Nanda.

Albert, Elby, dan Adica bergumam mengiyakan. Sedangkan Syifa mendesah. Menempelkan bantal sofa ke wajahnya. "Oh...aku tidak tega. Aku tidak mau lihat saat kalian melakukannya nanti."

"Tenang, Syifa." Nanda tersenyum menenteramkan. Ia berjanji akan menemani Syifa selama rencana kedua berlangsung. Mendengar janji itu, Syifa merasa lebih tenang.

**      

"Jadi, namamu Revan? Nama yang bagus." Calvin memuji, tersenyum ramah.

"Namamu jauh lebih bagus. Calvin. Seperti nama penyanyi. Seperti merk parfum juga." sahut Revan.

Saat itu, Revan dan Calvin berada di backstage. Ada sebuah ruang santai mungil dan nyaman di sana. Durasi pekerjaan mereka baru selesai. Saatnya berbincang sejenak sebelum pulang ke rumah.

"Lho, itu punya siapa ya?" Revan menunjuk kotak rokok di meja.

"Bukan punyamu?" Calvin balik bertanya.

"Bukan, Calvin. Aku tidak merokok."

Susah payah Calvin menahan diri untuk tidak bersorak. Sebenarnya, kotak berisi rokok itu adalah taktiknya. Ia ingin mengetes seberapa jauh akhlak baik Revan.

"Oh iya...lupa!" Calvin menepuk dahinya, memasang ekspresi lupa yang sangat meyakinkan.

"Itu punyaku! Tadi kuletakkan di situ sebelum perform! Kok bisa lupa ya? Parah ya..."

Menertawakan kecerobohannya sendiri, Calvin beranjak ke depan meja. Mengambil sebatang rokok dari dalam kotak itu.

"Kamu mau coba?" tawarnya.

"Nggak, aku pantang merokok." tolak Revan tegas.

"Are you sure? Merokok itu nikmat lho. Bisa membuat perasaan lebih baik." Calvin masih berusaha menggoda Revan. Namun Revan tak tertarik.

"Dari pada merokok," ujarnya seraya menuangkan segelas air putih dari dispenser.

"Lebih sehat minum air putih."

Good, bisik hati Calvin puas. Langkah selanjutnya tak mudah. Calvin berpura-pura menikmati rokoknya. Sebenarnya, ia benci sekali benda satu ini. Sejak dulu, Calvin tak pernah merokok. Tak pernah pula mengonsumsi alkohol dan narkoba. Itu pulalah salah satu hal yang sangat disukai Silvi dari Calvin: pria baik-baik yang tidak pernah menyentuh barang haram. Pria yang tahu bagaimana menjaga diri dan keluarganya.

Malam ini, Calvin harus berpura-pura. Ia mengisap rokok untuk pertama kalinya. Sungguh tidak enak. Meski demikian, ia berakting dengan sangat meyakinkan. Pura-pura menikmatinya di depan Revan. Seakan nikotin dalam rokok adalah kenikmatan terindah di dunia.

Lama terjun di dunia entertainment membuat Calvin mampu menghayati perannya. Sampai-sampai Revan percaya jika teman barunya ini sangat adiktif pada rokok.

"Well, kelihatannya kamu sangat menikmati ya?" komentar Revan.

"Iya dong. Rokok itu kenikmatan luar biasa. Bisa mendatangkan inspirasi juga." ungkap Calvin meyakinkan.

"Sorry...bukan bermaksud menggurui ya. Memangnya kamu nggak takut sama penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari rokok?"

Inilah yang ditunggunya. Revan memang orang baik. Tak mungkin dia akan mengingatkan Calvin saat bahaya rokok bila dia bukan orang baik. Ia jelas peduli pada keselamatan orang lain, walau orang itu baru dikenalnya selama empat jam.

"I don't care." Calvin menjawab tak peduli. Masih berpura-pura menikmati benda menjijikkan di tangannya. Ya, Calvin dan Silvi sangat membenci rokok. Tak ada toleransi bagi mereka soal benda menjijikkan pembawa penyakit itu.

"Yah...terserah kamulah. Tapi, coba pikirkan. Kamu masih muda. Sayang kalau begini terus."

Penanda notifikasi di handphone Calvin menyela ucapan Revan. Segera saja pria tampan itu membuka notifikasi. Whatsapp dari Silvi.

"Calvin, are you ok? Hari ini kamu tidak menulis ya? Aku belum sempat check. Masih fashion show."

Kehangatan mengaliri hati Calvin. Begitulah Silvi: penyayang dan penuh perhatian. Sesibuk apa pun, Silvi selalu ada waktu untuknya. Masih sempat memastikan dirinya sehat dan baik-baik saja. Mengucapkan selamat malam, salah satu bahasa cinta mereka. Jika Silvi sudah benar-benar menyayangi seseorang, ia takkan segan meluangkan waktu di sela kesibukannya untuk orang-orang terdekat yang disayanginya.

"Calvin, pulang yuk." ajak Revan.

Keduanya melangkah meninggalkan cafe. Calvin sengaja tidak membawa mobil. Ia berpisah jalan dengan Revan sebab rumah mereka berbeda arah. Baru beberapa langkah, Calvin dikejutkan oleh kehadiran tiga pria berwajah seram. Pria pertama berkumis lebat. Pria kedua mengenakan kacamata hitam. Wajahnya dingin tanpa belas kasihan. Pria ketiga berambut panjang dan kusut, tubuhnya dipenuhi tato dengan gambar yang aneh dan menakutkan.

"Hei, kamu penyanyi baru di cafe itu kan?" bentak pria pertama.

"Ya. Lalu, apa urusan kalian?" Calvin stay cool.

"Serahkan uangmu pada kami!" sergah pria kedua dan ketiga bersamaan.

Calvin terbelalak. Ada apa lagi ini? Baru saja ia ingin melanjutkan perjalanan pulang dengan tenang. Tetiba saja ia diganggu sekawanan orang jahat.

"Aku berhak menolak, kan? Karena ini uangku, ini hasil kerjaku." Saat mengatakannya, Calvin tetap cool dan berwibawa. Praktis ketiga penyerang itu menjadi marah.

"Beraninya kamu!"

"Mau cari masalah sama kami?"

Akibatnya fatal. Ketiga pria itu menyerang Calvin. Melayangkan pukulan dan tamparan bertubi-tubi. Mereka menyerang korbannya dengan kemarahan yang mengganas. Kekuatan mereka sungguh mengerikan.

Ingin sekali Calvin melawan mereka. Akan tetapi, rasa sakit itu datang tanpa permisi. Rasa sakit di pinggangnya. Menyebar perlahan ke punggung dan perutnya. Kidney Cancer tengah berulah.

Ya Allah, jangan sekarang. Calvin frustrasi dan kesakitan. Ia tak berdaya melawan tiga sekawan berwajah seram dan berhati keras itu. Kini si pria berkumis lebat begitu dekat dengannya. Memukulnya sekuat tenaga. Calvin tak berdaya, sempurna tak berdaya.

"Stop! Jangan ganggu dia!"

Terdengar teriakan dari ujung jalan. Revan berlari-lari menghampiri mereka. Dengan kekuatan penuh, ia menghadapi dan menyingkirkan ketiga penyerang itu sendirian. Ternyata Revan mahir bela diri. Lawan-lawannya berhasil dijatuhkan dengan cepat. Gerakan tangannya cepat dan cekatan. Merasa terkalahkan, ketiga penyerang itu kabur.

"Kamu nggak apa-apa?" Revan bertanya cemas, bergegas menghampiri Calvin.

Dibantu Revan, Calvin bangkit berdiri. Tubuhnya kesakitan. Namun hatinya diliputi kekaguman. Ia kian mengagumi pria Minahasa-Belanda-Prancis itu. Ia punya sisi lembut. Di saat bersamaan, ada sisi keberanian dan ketangguhan dalam dirinya.

**       

Adica mencabuti kumis palsunya. Albert melempar wignya. Elby melepas t-shirt dan skinny jeans yang telah rusak di beberapa tempat. Sofa ruang kerja manager mendadak dipenuhi perlengkapan penyamaran yang tak lagi terpakai.

"Aku benci kumis palsu ini!" geram Adica.

"Calvin sudah gila. Masa dia menyuruh kita menyamar menjadi perampok jalanan dan memukulinya?" ujar Albert.

"Kalian harus tahu. Tadi dia kesakitan saat kita serang. Bagaimana aku tega menyerangnya betulan?" Elby marah-marah. Membanting t-shirt rusaknya ke lantai.

Adica menatapnya nanar. "Aku lebih tidak tega lagi. Ini kakakku sendiri. Dia sedang sakit, dan kita memukulinya dengan buas."

Di sudut ruangan, Syifa menangis. Nanda mendekapnya. Mengusap-usap rambutnya.

"Kak Calvin terluka! Kasihan dia!" Syifa terisak.

"Tenang, Syifa. Calvin akan baik-baik saja. Dia pasti kuat. Dia tahu apa yang harus dilakukan." Nanda berbisik menenangkan.

Pundak Syifa gemetar hebat. Air matanya terus mengalir. Tak tega membayangkan kondisi Calvin. Kakak pertamanya sakit keras. Waktunya mungkin tak lama lagi. Namun, mengapa di sisa waktunya ia harus tersiksa? Semestinya Calvin menjalani sisa hidupnya dengan tenang. Calvin terlalu baik, terlalu sering mementingkan orang lain. Hatinya yang lembut dan penyabar membuatnya selalu dan selalu berbuat baik pada orang lain. Terlebih pada istri dan putrinya.

**      

Pintu utama mengayun terbuka. Disusul teriakan histeris seorang wanita cantik bermata biru dan berkulit putih. Wanita blasteran Sunda-Inggris itu shock melihat wajah suaminya penuh luka.

"Calvin, pasti telah terjadi sesuatu padamu. What's the matter with you, Love?" ucap Silvi, kepanikan tercermin di matanya.

Calvin menjatuhkan diri dalam pelukan Silvi. Di sisi wanita cantiknya, sakit dari luka-lukanya berkurang perlahan. Silvi membalas pelukan Calvin. Rasa sakit Calvin adalah rasa sakitnya juga. Luka Calvin lukanya juga. Sedih dan duka Calvin menjadi bagian hidup Silvi.

**       

Calvin Jeremy - Utuh (Audio HQ)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun