"Stop! Jangan ganggu dia!"
Terdengar teriakan dari ujung jalan. Revan berlari-lari menghampiri mereka. Dengan kekuatan penuh, ia menghadapi dan menyingkirkan ketiga penyerang itu sendirian. Ternyata Revan mahir bela diri. Lawan-lawannya berhasil dijatuhkan dengan cepat. Gerakan tangannya cepat dan cekatan. Merasa terkalahkan, ketiga penyerang itu kabur.
"Kamu nggak apa-apa?" Revan bertanya cemas, bergegas menghampiri Calvin.
Dibantu Revan, Calvin bangkit berdiri. Tubuhnya kesakitan. Namun hatinya diliputi kekaguman. Ia kian mengagumi pria Minahasa-Belanda-Prancis itu. Ia punya sisi lembut. Di saat bersamaan, ada sisi keberanian dan ketangguhan dalam dirinya.
** Â Â Â Â
Adica mencabuti kumis palsunya. Albert melempar wignya. Elby melepas t-shirt dan skinny jeans yang telah rusak di beberapa tempat. Sofa ruang kerja manager mendadak dipenuhi perlengkapan penyamaran yang tak lagi terpakai.
"Aku benci kumis palsu ini!" geram Adica.
"Calvin sudah gila. Masa dia menyuruh kita menyamar menjadi perampok jalanan dan memukulinya?" ujar Albert.
"Kalian harus tahu. Tadi dia kesakitan saat kita serang. Bagaimana aku tega menyerangnya betulan?" Elby marah-marah. Membanting t-shirt rusaknya ke lantai.
Adica menatapnya nanar. "Aku lebih tidak tega lagi. Ini kakakku sendiri. Dia sedang sakit, dan kita memukulinya dengan buas."
Di sudut ruangan, Syifa menangis. Nanda mendekapnya. Mengusap-usap rambutnya.