Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau Pergi Membawa Hatiku

10 September 2017   06:11 Diperbarui: 12 September 2017   12:32 1652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**     

Masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Tepat pukul dua, namun Calvin sudah terbangun dari tidurnya. Bukan hanya karena kesengajaan, melainkan pula karena kesakitan.

Air mengalir di wastafel. Calvin muntah darah. Ini menakutkan, sungguh menakutkan. Ia menatap nanar darahnya sendiri.

Bukannya ia takut. Yang ditakutkannya adalah kemungkinan terburuk jika dirinya tak bisa menemani seorang wanita melewati hari spesialnya. Hanya itu yang dikhawatirkannya.

Hari spesial? Ya, hari ini tanggal 9 September. Tanggal cantik sekaligus tanggal kelahiran wanita yang ada di hatinya. Buru-buru Calvin kembali ke tempat tidur. Mengambil tab, lalu mengirimkan e-mail ke calisakarima99@gmail.com.

Happy birthday, my lovely sister.

May all your wish coming through.

All the best for you.

Sesaat ia menunggu. Yakin sekali, Calisa pasti belum tidur. Bukankah Calisa biasanya menunggu detik-detik pergantian usianya?

Dugaan Calvin benar. Calisa membalas e-mailnya. Menyatakan terima kasih dan ungkapan cinta yang tulus. Mengakui kesepian yang menggerogoti jiwanya. Dengan sabar, Calvin mengajari Calisa menikmati kesepiannya. Ia mengajak Calisa melihat kesepian dari sudut pandang berbeda. Ternyata kesepian dapat dinikmati.

Calisa minta ditemani. Itu sudah dikiranya. Hari ini, Calvin memberikan waktunya hanya untuk Calisa. Ia paksakan tubuhnya tetap terjaga. Meski ia rasa waktu tidurnya belum cukup, namun ia tetap menemani Calisa.

Berulang kali Calisa menanyainya apakah ia baik-baik saja. Calisa selalu mencemaskan kondisinya. Diyakinkannya si wanita Virgo bahwa dirinya tak apa-apa.

Semoga hari ini berjalan sempurna.

**     

Dalam keadaan lelah dan kusut sehabis bersih-bersih rumah saja ia tetap cantik, bagaimana bila ia telah bermake up dan memakai pakaian indah? Tentu saja ia makin jelita. Itulah Calisa Karima, wanita kelahiran 9 September yang tengah menyelesaikan studinya.

Seperti biasa, Calisa mengosongkan jadwal kegiatan saat hari ulang tahunnya. Ia tetap di rumah, refleksi diri dan memperhatikan orang-orang yang dicintainya. Tahun ini, Calisa melewati hari bertambahnya usia sendirian. Mami-Papinya sedang dalam penerbangan menuju Banda Aceh untuk menemui penasihat spiritual kepercayaan keluarga. Calisa memutuskan takkan ikut. Sejak awal, ia bertekad merayakan ulang tahunnya di rumah saja.

Sejak kecil, Calisa terbiasa sendirian di rumah. Ia terlatih untuk mandiri. Sayangnya, sering kali ia kesepian. Beruntung gadis berdarah campuran Sunda-Belanda itu mempunyai sahabat yang sangat baik dan selalu ada untuknya: Calvin.

Teringat Calvin, Calisa buru-buru menepuk dahinya. Ia lupa mengecek e-mail. Tiga jam membersihkan rumah dan mendekor ulang kamarnya membuat Calisa terlupa. Tergesa dilangkahkannya kaki ke lantai atas. Baru menaiki beberapa anak tangga, ia dikagetkan oleh dering telepon. Siapa lagi yang meneleponnya pagi-pagi begini? Ketika pesawat telepon diangkat...

"Happy birthday, Princess! Semoga sukses, sehat, dan tetap cantik yaaa!"

Suara-suara di seberang sana membuatnya terperangah. Itu suara Mami dan sepupu-sepupunya. Terdengar suara tawa mereka yang ceria dan bersahabat.

"Thanks a lot..." desah Calisa, senyum tipis bermain di bibirnya.

"Kadonya nyusul ya." kata Selena, salah satu sepupunya.

"Sudah makan, Sayang?" Maminya menimpali.

"Sudah, Mi."

"Pintar...oh ya, tadi Mami keracunan."

Pesawat telepon di tangan Calisa nyaris jatuh. Ia setengah tak percaya. Maminya keracunan, tapi mengatakannya dengan nada cerianya seolah ia baru saja bercerita soal hewan peliharaannya.

"Serius, Mi? Terus gimana kondisinya?" Tertangkap nada panik dalam suara Calisa.

"Udah nggak apa-apa. Mana tadi Mami sempat terpisah sama Papi waktu mau naik pesawat. Ada-ada aja ya..." Maminya tertawa renyah. Disambuti tawa para sepupu. Begitulah keluarga Calisa: periang dan suka bercanda. Tak suka membesarkan masalah dan menganggap positif semua kejadian.

Calisa menghela napas lega. Bersyukur kondisinya tidak fatal.

"Oh ya, Gabriel sudah telepon kamu?" lanjut Maminya lagi.

"Belum. Dari tadi Calisa nggak buka handphone. Semua notif dimatikan kecuali beberapa notifikasi khusus." jawab Calisa tak peduli.

"Gimana sih kamu? Calon suami masa diperlakukan kayak gitu?"

Mendengar itu, Calisa terhenyak. Tak ada cinta untuk Gabriel. Hanya ada satu nama di hatinya.

**    

Wanita berpakaian putih itu mendesah pasrah. Menatapi pasien istimewanya. Istimewa? Bisa dikatakan begitu.

Calvin Wan bukanlah pasien biasa. Ia dapat dideskripsikan sebagai pria tampan. Postur tubuh semampai, kulit putih, dan wajah oriental yang menawan. Apa yang kurang? Kecerdasannya di atas rata-rata. Ketampanan dan kecerdasan membuatnya mudah meyakinkan orang lain serta mendapatkan jabatan tinggi di perusahaan. Ini tak luput dari peran hello effect, suatu stereotip fisik yang menganggap orang berwajah rupawan lebih segala-galanya.

Realitanya, Calvin tak hanya tampan. Ia nyaris memiliki segalanya kecuali satu: kesehatan. Kanker tulang stadium empat mengganas di tubuhnya. Beberapa bulan terakhir, Calvin menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Kondisinya naik-turun dalam fluktuasi yang mengkhawatirkan. Satu minggu full ia bisa merasa sangat sehat. Minggu berikutnya belum tentu. Sel-sel kanker bermetastasis dengan cepat.

"Izinkan saya keluar dari rumah sakit." pinta Calvin. Ia sungguh-sungguh menginginkannya.

"Calvin...kesehatanmu tidak memungkinkan." Sang dokter menolak halus.

"Saya kuat. Saya akan baik-baik saja. Ini hari ulang tahun seseorang yang berarti dalam hidup saya. Mungkin saja, ini kesempatan terakhir saya untuk membahagiakannya."

Kesungguhan terpancar di mata itu. Siapa pun yang melihatnya akan luluh. Kelembutan dan kesabaran Calvin membuat semua orang yang mengenalnya terkesan. Akhirnya, permintaannya diluluskan.

Tanpa membuang waktu lagi, Calvin bergegas meninggalkan rumah sakit. Kenekatan mendorongnya mengemudikan mobilnya sendirian. Sebuah rencana telah disiapkan.

**     

Bel pintu berbunyi. Calisa beranjak ke ruang tamu. Di ambang pintu, seorang kurir berdiri tegap. Ia memegang kotak ukuran sedang berwarna putih.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" sapa Calisa ramah.

"Ada kiriman untuk Nona Calisa. Dari Tuan Calvin Wan." jawab kurir itu seraya menyerahkan kotak yang dibawanya.

Calvin mengiriminya sesuatu? Debaran jantung Calisa bertambah cepat. Diterimanya kotak itu, lalu mengucapkan terima kasih.

Kotak itu ia buka. Mata Calisa melebar tak percaya. Sebuah tas Kate Spade berwarna hitam yang diinginkannya.

"Wow..." desah Calisa tanpa sadar. Memeluk erat tas itu. Hatinya hangat oleh kebahagiaan.

"Thanks a lot, my lovely brother."

Calvin selalu tahu apa yang disukainya. Beruntungnya Ccalisa memiliki sahabat sekaligus saudara sebaik itu.

Untuk kedua kalinya, bel pintu berdering. Cepat-cepat ia bangkit dan membukakan pintu. Saat pintu kaca terbuka...

"Oh Calvin! Kamu datang? Harusnya aku yang ke rumah sakit!"

Keduanya berpelukan erat. Wangi Aqua di Gio menyatu dengan wangi Gucci Guilty. Calisa melingkarkan lengannya di leher Calvin. Betapa ia rindu pria oriental itu.

"Surprise..." ujar Calvin, tersenyum menawan.

"Kamu berhasil membuatku terkejut. Kamu nekat sekali, Calvin. Sudah minta izin Dokter Marcelina?"

"Sudah."

"Good."

Tak puas-puas Calisa menatap wajah Calvin. Seraut wajah rupawan yang terpatri di hati terdalamnya.

Pagi ini, Calvin menampakkan seluruh auranya yang memikat. Pakaian modis, raut wajah santun menyenangkan, tatapan teduh, wangi khas, dan sikap lembutnya menghipnotis Calisa. Ia terpesona, sungguh terpesona. Lebih dari itu, Calvin terlihat fresh dan sehat pagi ini. Tak nampak tanda-tanda kesakitan dan keletihan.

"Coba buka media citizen journalism kita pagi ini," Instruksi Calvin segera dipatuhi Calisa.

"Sebuah puisi untukmu."

"Oh my God...kamu menulis untukku?" Mata Calisa berbinar bahagia.

Sibuk berkarier dan berkegiatan sosial tak membuat Calvin melupakan hobinya. Ia sangat suka menulis. One day one article sudah menjadi kebiasaannya. Begitu pula Calisa. Mereka kontributor yang setia dan konsisten.

"Apa yang kucari?" Calisa membaca judul puisi itu.

Calvin tersenyum. Menatap lekat wajah cantik di sisinya. Calisa menikmati puisi untuknya. Ia tak menyangka Calvin akan menulis sesuatu untuknya hari ini.

Harus berapa kali ia mengatakan terima kasih pada Calvin? Sepertinya takkan cukup untuk membalas semua perhatiannya.

"My lovely brother, temani aku ya? Aku ingin menikmati hari ini." Calisa berkata manja. Rencananya hari ini hanyalah menikmati hidup.

"Okey, my lovely sister."

**     

Berbagai tempat telah mereka kunjungi. Mulai dari hunting foto sampai mencari inspirasi untuk tulisan. Calvin dan Calisa begitu dekat serta mesra. Dunia serasa milik berdua. Kesepian tak lagi diresahkan, justru dinikmati.

Siapa pun boleh iri. Hari ini begitu indah bagi keduanya. Calisa menikmati detik demi detik bersama Calvin. Harapannya, waktu dapat dihentikan agar kebersamaannya dengan Calvin tak berakhir.

Calvin sendiri merasakan hatinya dialiri kebahagiaan. Berada di dekat Calisa membuatnya nyaman. Calvin tipe pemilih. Ia hanya mau bersahabat dan berhubungan dekat dengan orang-orang yang terbukti tulus. Jumlah sahabatnya dapat dihitung dengan jari. Banyak orang menjulukinya Lone Wulf. Di atas semua itu, Calvin suka menikmati kesepiannya. Baginya, sepi adalah pilihan.

Menjelang malam, mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah cafe. Menikmati donat dan cappucino. Rasa green tea menjadi varian favorit Calisa. Sebaliknya, Calvin lebih menyukai varian strawberry.

"Cobain yang green tea. Sini, aku suapin ya?" tawar Calisa.

"Nggak mau. Lebih enak strawberry." tolak Calvin.

"Ah Calvin...cobalah. Yang ultah siapa?" Calisa tersenyum nakal, sengaja menjelaskan aturan mainnya.

Alhasil, Calvin menurut. Demi menyenangkan hati orang yang berulang tahun.

Orang yang tak mengenal mereka mungkin menganggap Calvin dan Calisa sepasang kekasih. Nyatanya, mereka hanyalah sahabat sejak kecil yang terjebak brother zone. Meski demikian, mereka sangat menikmatinya. Calvin, pria charming dan cerdas yang menikmati kesepian itu. Calisa yang cantik dengan kebaikan hati dan sifat penyayangnya.

"Calisa, apa yang kamu inginkan? Bukankah kamu sudah refleksi diri?" Tetiba saja Calvin menanyai Calisa.

"Aku ingin menjadi psikolog dan terapis wicara, membuat rumah singgah untuk anak penderita kanker, dan selalu ada untuk orang-orang yang kucintai." sahut Calisa yakin.

"Good. Aku percaya kamu pasti bisa melakukannya." puji Calvin tulus.

"Thanks, Calvin."

Manik mata Calvin menangkap sisa coklat di sudut bibir Calisa. Diulurkannya tangan kanannya. Lembut diusapnya bibir Calisa.

Calisa menahan napas. Sentuhan Calvin begitu lembut. Sesaat ia menikmatinya. Sebuah gerakan kecil namun berarti. Dapat dipastikan hati Calisa dirayapi desir hangat. Selama ini, Calisa jarang sekali bisa begitu dekat dengan orang lain. Bahkan pada keluarganya sendiri keluarganya ia tak terlalu dekat. Justru dengan Calvin ia mau mendekat dan membuka diri.

Rasanya kebahagiaan mereka takkan pernah berakhir. Benarkah begitu?

Setetes darah terjatuh tepat ke dalam gelas cappucino. Dua, tiga, empat tetesan darah segar lagi terjatuh dari hidung Calvin. Begitu cepat situasi berubah. Semula segalanya baik-baik saja, kini keadaan berbalik.

"Calvin, kamu kenapa? Sebaiknya kita kembali ke rumah sakit..." ucap Calisa cemas.

"Tidak apa-apa, Calisa. Kita ke villa, jangan ke rumah sakit." Calvin menenangkan Calisa.

"Tapi..."

Dengan lembut, Calvin meraih tangan Calisa. Menggenggamnya hangat. Mengisyaratkan jika wanita cantik itu tak perlu khawatir. Calisa menundukkan wajah, sedih bercampur cemas.

Lagi-lagi Calvin menunjukkan kenekatannya. Ia memaksakan diri menyetir mobil. Calvin masih bisa berkonsentrasi mengemudi meski kondisinya tidak sehat.

Sepanjang perjalanan, sikap Calvin sedikit aneh. Ia mengingat salah seorang sahabbatnya yang telah meninggal. Kehilangan yang sangat menyakitkan. Mata batin Calisa dapat merasakan adanya luka-luka yang belum sembuh dalam diri Calvin. Sejauh ini, Calvin berkeras menghadapinya sendiri. Beberapa kali Calisa membujuk Calvin untuk berbagi lukanya. Setidaknya, Calisa bisa sedikit membantu.

Calisa percaya, Calvin kuat dan tegar menghadapinya. Namun kekuatan pun berbatas. Sampai kapankah Calvin mampu mengatasinya sendiri?

**     

Villa itu tak begitu besar. Nuansa broken white mendominasi. Di ruang tamu, berdiri anggun sebuah grand piano. Bersama piano itulah Calvin kerap kali menghabiskan waktunya. Melarutkan kenangan dan luka dalam alunan musik.

Kini ia tak sendiri. Calisa di sampingnya. Jarak mereka sangat dekat. Tak ada yang menghalangi.

"Calvin, kamu istirahat ya? Aku takut kamu kenapa-napa." Calisa memohon. Bibirnya gemetar, ia sedih dan putus asa melihat pria yang dicintainya serapuh ini.

"Sebentar lagi, Calisa. Aku masih ingin melewatkan waktu bersamamu. Bisa saja kita tak bisa pergi berdua lagi setelah kamu menikah."

Ucapan lembut Calvin sukses merobek hati Calisa. Ya, sebentar lagi ia akan menikah. Menikah dengan pria yang tidak dicintainya.

"Oh Calvin, please...jangan sebut-sebut pernikahan. Aku...aku tak mencintai Gabriel."

"Kamu harus mencintainya. Anggap dia sebagai suami, kekasih, dan sahabat sejati. Bukankah selama ini kamu tak punya sahabat selain aku?"

Calisa menghela napas berat. "Hanya kamu sahabat sejatiku, Calvin. Aku pun menginginkan dirimu menjadi kekasih sejatiku."

"Tidak bisa, Calisa. Kamu tahu kondisiku, kan?"

Bertahun-tahun terjebak dalam brother zone membangkitkan rasa cinta. Ironisnya, mereka tak mungkin bersama. Sewaktu Calvin akan melamar Calisa, ia divonis mengidap Osteosarkoma. Penyakit itu menghalanginya untuk bersatu dengan cinta sejati. Praktis ia dan Calisa kembali memerangkap diri dalam zona kakak-adik.

"Aku ingin membatalkan semuanya, Calvin. Kalau kamu mau, sekarang juga akan kubatalkan rencana pernikahanku dengan Gabriel. Nikahilah aku, my lovely brother. Seperti rencana kita dulu." Calisa berujar perlahan.

Satu tangan Calvin mengangkat lembut dagu Calisa. Meminta tanpa kata supaya wanita itu memandangnya. Dua pasang mata bertemu. Sepasang mata bening milik Calisa dan sepasang mata teduh milik Calvin.

"Kanker stadium empat..." lirih Calvin, menempelkan keningnya di kening Calisa. Tak sesenti pun jarak di antara mereka. Keduanya dekat, amat dekat.

"Aku sudah tidak punya harapan lagi untuk sembuh. Mana mungkin aku menikahimu, Calisa?"

Buliran hangat membasahi kening Calisa. Entah air matanya sendiri atau air mata Calvin.

"Kamu pasti sembuh...kalau pun kamu meninggal, aku akan tetap mencintaimu. Kamulah satu-satunya pemilik hatiku, Calvin Wan."

Calvin dan Calisa berpelukan. Waktu serasa berhenti. Beginikah rasanya mencintai tanpa memiliki? Calvin dan Calisa saling mencintai, namun tak mungkin mereka bersatu. Hati Calisa menyerukan penolakan. Ia tak bisa menerima kenyataan yang terjadi.

"Aku tidak tega menikahimu dan meninggalkanmu tak lama setelahnya, Calisa. Mengertilah...itu akan jauh lebih sakit." kata Calvin lembut, menyibakkan anak rambut yang membingkai wajah cantik Calisa.

"Sekarang pun sudah menyakitkan."

Malam turun perlahan. Di luar sana, rintik gerimis berubah menjadi hujan. Hujan, sesuatu yang disukai Calvin dan Calisa.

"I love you, Calvin. Sebelum kita saling kenal, aku sudah memperhatikanmu. Firasatku mengatakan, aku akan punya kesempatan untuk bicara dengan hatiku dan mengenalmu. Aku sudah lama tahu itu..." Calisa berkata penuh kesungguhan.

Perlahan-lahan Calvin melepas pelukannya. Meletakkan tangan di atas tuts piano. Saat akan memainkan instrumen musik itu, mendadak kedua tangannya tak bisa digerakkan. Lumpuh yang berujung pada rasa sakit. Serangan kanker datang pada saat tidak tepat.

Wajah Calvin semakin pias. Sekali, dua kali, hingga keempat kalinya mencoba, tetap saja ia tak bisa menggerakkan tangan. Calisa menyadari apa yang terjadi. Dengan wajah berurai air mata, Calisa memegang tangan Calvin.

"Kamu pasti kesakitan..." desisnya. Satu tetes air mata menjatuhi tangan kanan Calvin.

"Biarkan aku menjadi tanganmu."

Sejurus kemudian Calisa memainkan piano. Mendengar intronya, Calvin terpaku. Mengapa Calisa harus membawakan lagu itu?

Usai intro, Calvin mulai menyanyi. Ini lagu kenangan mereka.


Ingatkah dulu semua kenangan kita

Waktu kita bersama, waktu kau cemburu

Kini kau menghilang

Seakan semua tak pernah ada

Sesaat saja tak kauizinkan tuk buktikan

Semua pasti berubah

Andai saja ada kesempatan kau berikan

Kita masih bersama

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hatiku

Sesaat saja tak kauizinkan tuk buktikan

Semua pasti berubah

Andai saja ada kesempatan kau berikan

Kita masih bersama

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hatiku

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).

Calisa mendengarkan sepenuh hati. Lama ia tak mendengar Calvin bernyanyi untuknya. Ia menyukainya. Calvin menyanyikan lagu kenangan mereka dari hati.

Sesaat kemudian Calvin kembali membawa Calisa ke dalam pelukannya. Calisa balas memeluk Calvin, berharap tak usah melepasnya lagi.

"Aku lelah, Calisa." Calvin berbisik, terlihat ia benar-benar letih.

"Aku hafal kebiasaanmu. Ini waktumu tidur, kan?" balas Calisa penuh pengertian.

"My lovely sister, ceritakan apa saja padaku. Apa yang ingin kamu lakukan..."

Aneh sekali. Calvin memang selalu ada untuk Calisa. Ia pernah meminta Calisa untuk tidak memendam masalahnya. Baru kali ini ia meminta secara langsung pada Calisa untuk menceritakan sesuatu. Biasanya, Calisa akan bercerita sendiri.

Tanpa ragu, Calisa menceritakan apa yang ingin dilakukannya. Menggenggam erat tangan Calvin, ia mulai bercerita.

"Jika kakakku ini sembuh, aku ingin mengajakmu ke Rumah Cinta. Rumah singgah khusus anak pengidap kanker milik seorang wirausahawan. Anaknya meninggal terkena kanker. Tak mau hal yang sama menimpa orang lain, ia membuat Rumah Cinta. Kamu mau ke sana bersamaku, kan? Kita menebar cinta di Rumah Cinta."

Mata Calvin setengah terpejam. "Apa yang bisa kita lakukan di Rumah Cinta?"

"Memberikan makanan pada anak-anak di sana, mengajak mereka bermain, dan memberikan sedikit bantuan."

Sesaat hening. Entah mengapa, firasat buruk menyeruak di hati Calisa. Apa lagi yang akan terjadi? Genggaman tangan Calvin terasa semakin lemah.

"Banyak sekali yang ingin kulakukan bersamamu, Calvin." Suara Calisa bercampur isak tangis. Dikuatkannya hati, lalu dilanjutkannya ceritanya.

"Jika kamu sembuh nanti, aku ingin mengajakmu ke tempat-tempat favoritku. Ke sekolah almamaterku, ke Bukit Bintang, ke Banda Aceh, lalu ke Mekkah. Kita bisa menonton film lagi seperti dulu. Sudah lama kita tidak menonton film kesukaan kita ya? Kamu ingat, kan?"

"Eat Pray Love." sela Calvin. Menyebut judul film kesukaan mereka berdua.

"Iya, Calvin. Aku ingin menonton Eat Pray Love lagi bersamamu. Lalu...setelah kamu sembuh, kita bisa wisata kuliner lagi. Makan es krim vanilla kesukaan kita. Minum green tea dan mencicipi semua makanan yang kita suka. Kecuali seafood. Aku akan memperlihatkan koleksi bonekaku yang terbaru, dan kamu akan menamainya lagi seperti waktu itu. Kita akan menulis bersama, membaca buku yang sama, mendengarkan musik yang sama. Setiap hari Jumat kita akan berbagi makanan gratis untuk orang-orang yang membutuhkan. Kita juga bisa merayakan ulang tahun lagi tahun berikutnya, lalu kita...kita menikah."

Genggaman tangan Calvin terlepas. Sebaliknya, sebuah beban berat mendarat di pundak Calisa. Refleks Calisa mengalihkan tatapan. Kepala Calvin tersandar di pundaknya. Ganjil, seraut wajah tampan itu jauh lebih pucat dari sebelumnya. Seakan tak ada lagi aliran darah di sana.

Semenit. Tiga menit. Lima menit, tangan Calvin serasa sangat dingin. Kekhawatiran Ccalisa bertambah kuat. Menit-menit berlalu, berat dan menyakitkan.

Mata Calvin tak lagi terbuka. Melainkan telah tertutup. Untuk selamanya.

Calisa menangis. Calvin telah meninggal dalam pelukannya. Seperti Rene Angelil yang meninggal di pelukan Celine Dion.

Ketakutan terbesar Calisa adalah kehilangan orang yang dicintai. Ia telah kehilangan lagi. Selama ini ia dan Calvin berusaha menyelamatkan situasi dari konflik agar mereka tak saling kehilangan. Pada akhirnya Calisa tetap kehilangan Calvin. Maut memisahkan mereka.

Calvin pergi membawa hati Calisa. Dialah satu-satunya pemilik hati Calisa.

Sekali lagi, Calisa memeluk Calvin. Mungkin ini pelukan terakhir. Ia harus ikhlas. Seraya mencium kening Calvin, Calisa berbisik.

"Terima kasih untuk hari ini. Good night, my lovely brother."

**     

Paris van Java, 10 September 2017

Untuk kakak yang selalu ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun