"Kenapa Papi nggak kerja kayak Om Calvin aja? Biar waktunya banyak, uangnya juga banyak."
Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi anak seperti Reinhart. Mungkin orang tua lain akan dibuat kerepotan menghadapi Reinhart. Tidak bagi Tuan Calvin. Kesabarannya begitu besar. Ia tak pernah marah pada anak kecil. Vonis mandul yang menimpanya membuat pria berdarah keturunan itu lebih menghargai anak-anak. Tuan Calvin selalu geram dan tak habis pikir tiap kali membaca berita atau menyaksikan orang tua yang menyia-nyiakan anaknya. Sebab ia pernah merasakan betapa tertekannya hidup tanpa anak.
** Â Â Â
Rush silver itu melaju dari exit Tol Padalarang. Kota Baru Parahyangan, itulah tujuannya. Tuan Calvin duduk di balik kemudi. Menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. Reinhart di sampingnya. Sibuk membuka-buka buku pelajaran.
"Hari ini ulangan Matematika," Tanpa diminta, Reinhart bercerita.
"Rein suka Matematika?"
"Nggak."
Sepanjang perjalanan, mereka saling bicara. Layaknya ayah dengan anak kandung. Reinhart rileks saja mengungkapkan ketidaksukaannya mempelajari Matematika. Tuan Calvin mendengarkan dengan sabar. Tanpa merasa jemu, tanpa menyela, tanpa menghakimi. Ia memotivasi Reinhart agar menyukai semua pelajaran. Secara tak langsung, Reinhart termotivasi. Ia selalu mendengarkan apa kata Papi keduanya itu.
Lagu di audioplayer berganti. Kali ini terdengar alunan suara bariton milik seorang penyanyi yang terkenal setelah mengikuti ajang pencarian bakat bertahun-tahun lalu. Sebuah lagu lama yang representatif dengan perasaan Tuan Calvin.
Kaulihat aku di sini seutuhnya
Sendiri merasa bahagia karenamu