"Terima kasih, Wahyu. Kamu sudah memberikan darahmu untuk Calvin."
"Sama-sama, Young Lady. Calvin sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Kebetulan golongan darahku sama dengannya."
Nyonya Calisa menggigit bibirnya. Mengapa Wahyu masih memanggilnya begitu? Tidak bisakah ia berhenti saja? Gegara panggilan sayang itu, Tuan Calvin salah paham. Namun ia tak tega melarangnya.
"Tante juga mau berterima kasih. Kamu sudah banyak membantu Calvin." Nyonya Lola mendekati Wahyu, lalu menjabat tangannya.
"Sama-sama, Tante Lola. Saya senang bisa membantu."
"Kalau bukan karena darah yang kamu berikan, Calvin tak bisa operasi. Kondisinya sangat lemah."
Di ujung koridor, Clara duduk sendirian. Ia menangis. Air mata membasahi wajahnya yang cantik. Sejak tadi, ia tak mau didekati. Berulang kali Nyonya Calisa, Nyonya Lola, dan Wahyu berusaha, tapi sia-sia saja. Anak cantik itu sangat mencemaskan Ayahnya.
Sosok Clara dan tangis kesedihannya tak luput dari perhatian Reinhart. Entah mengapa, anak lelaki berparas tampan itu trenyuh. Ia serasa ikut merasakan kesedihan dan kecemasan Clara. Pelan ia berbisik pada Papinya.
"Pap, Rein tenangin Clara dulu ya? Boleh kan?"
"Good boy. Baru aja Papi mau bilang gitu sama kamu. Sana dekati Clara. Mungkin kamu bisa buat dia nggak sedih lagi." Wahyu tersenyum, menyemangati putra kebanggaannya.
Perlahan Reinhart menghampiri Clara. Duduk di sampingnya. Menyadari kehadiran Reinhart, Clara berpaling menatapnya.