Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Harapkan Dia Kembali

11 Agustus 2017   06:21 Diperbarui: 16 Agustus 2017   01:21 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nilai-nilai kebaikan selalu diajarkan Tuan Calvin pada Clara. Gadis kecil nan cantik itu menyerap semua nilai kebaikan yang diajarkan Ayahnya. Belajar nilai kebaikan membuat Clara makin mengagumi, mencintai, dan menyayangi Tuan Calvin.

"Ayah, sekarang Hari Jumat kan?" tanya Clara dengan halus. Manik matanya mengerling Tuan Calvin penuh arti.

"Iya Sayang, Ayah ingat. Hari ini kita ke cafe." kata Tuan Calvin, mengerti maksud putri semata wayangnya.

"Lho, kenapa ke cafe? Jumat kan waktunya berbagi, Ayah." Clara rupanya belum paham.

"Kita undang orang-orang tidak mampu untuk makan di cafe, Sayang." Tuan Calvin menjelaskan dengan sabar. Menuai senyum cerah di wajah Clara.

"Oh iya...Clara paham. Ayah pintar. Idenya bagus. Ayo kita ke cafe, Ayah."

"Sebentar lagi, Sayang. Kita tunggu Bunda selesai menulis artikelnya. Sandwichnya Clara juga belum habis."

Setelah berkata begitu, Tuan Calvin menyuapi Clara. Clara menerima suapan sandwich dari Ayahnya dengan senang hati.

Sementara itu, Nyonya Calisa sembunyi-sembunyi mengangkat wajah dari layar laptopnya. Menatapi Clara dan Tuan Calvin. Hot daddy, pikirnya terkesan.

"My Dear Calvin...kamu ayah terbaik." bisiknya.

Tanpa disadari keduanya, Nyonya Calisa memotret momen kebersamaan Tuan Calvin dan Clara. Lalu mengunggahnya ke Instagram. Menuliskan beberapa kalimat sebagai caption di foto itu.

"Calvin Wan adalah pria yang sempurna di mataku. Ia ayah, suami, sahabat, pendamping hidup, dan kekasih sejati. Beruntung aku ditakdirkan sebagai wanita yang mendampinginya. Meski Calvin bukan yang pertama, tapi dialah yang terakhir."

Dalam waktu singkat, foto itu dipenuhi puluhan like dan komentar. Tak sedikit netizen yang iri dan cemburu. Mereka mendambakan pria seperti Tuan Calvin sebagai pasangan hidup. Tersenyum puas, Nyonya Calisa meletakkan kembali smartphone-nya dan fokus pada artikelnya.

**    

Rush berwarna silver itu hanya satu dari sekian banyak mobil yang terjebak padatnya arus lalu lintas di Jalan Ir. H. Djuanda. Orang terkadang lebih suka menyebutnya Jalan Dago.

Weekdays atau weekend tak ada bedanya. Tetap saja pengguna jalan dihadang kemacetan. Membuat mereka terkadang berpikir ulang untuk bepergian jika tidak benar-benar perlu.

Demi membunuh waktu, Tuan Calvin membuka media jurnalisme warga tempatnya one day one article dari tabletnya. Nyonya Calisa melakukan hal serupa. Sedangkan Clara mendengarkan lagu-lagu favoritnya dari audioplayer.

"Aku membaca artikelmu, Calisa." Tuan Calvin memulai pembicaraan.

"Oh ya? Bagaimana pendapatmu?" sambut Nyonya Calisa antusias.

"Aku tidak setuju dengan tulisanmu pagi ini."

Senyuman di wajah Nyonya Calisa sedikit memudar. "Why?"

"Materi bukan segalanya. Kebahagiaan tidak hanya karena materi. Aku sering menemukan orang-orang yang hidup sederhana, tapi mereka sangat bahagia. Mereka tidak punya motor, tidak punya mobil. Tapi tetap bahagia."

Raut wajah Nyonya Calisa tetap tenang. Tuan Calvin mengelus lembut dagu istrinya. Sekilas memeluk pundaknya.

"Jangan marah ya?"

Semula Tuan Calvin mengira istrinya akan marah. Dugaannya keliru. Wanita berdarah Indo itu berkata ringan.

"I see. Masa begitu saja marah? Beda pendapat itu wajar, Calvin. Indikator kebahagiaan tiap orang juga berbeda. So, semuanya kembali lagi ke diri kita masing-masing. Indikator kebahagiaan seperti apa yang kita tetapkan? Aku hargai perbedaan itu."

"Good..."

"Aku senang ada perbedaan seperti ini. Terkadang, orang yang saling mengagumi dan menyayangi pun bisa berbeda pendapat."

Sesaat Tuan Calvin terdiam. Masih ada lagi yang ingin disampaikannya tentang artikel itu.

"Calisa, aku ingin memberi sedikit kritikan. Dalam artikel itu, kamu seperti mendiskreditkan kemiskinan. Coba kamu baca lagi. Siapa tahu aku yang salah."

Orang sukses adalah orang yang mau menerima kritikan. Nyonya Calisa tak keberatan dikritik. Terlebih bila kritikan itu disampaikan dengan baik dan rendah hati seperti yang baru saja dilakukan Tuan Calvin.

"Okey. Nanti kubaca lagi artikelnya. Ini bisa jadi masukan untukku agar lebih hati-hati lagi kelak."

Rupanya Clara ikut mendengarkan dialog Ayah-Bundanya. Meski tak terlalu paham, ia senang mendengarkannya. Feelingnya mengatakan jika orang tuanya tipe yang terbuka dan sabar. Tak mudah berkonflik.

Berbeda dengan Nyonya Calisa yang lebih banyak diam jika tidak setuju, Tuan Calvin to the point saja dalam mengungkapkan pendapatnya. Namun ia tetap menjaga perasaan saat mengatakan ketidaksetujuan.

"Aku semakin kagum padamu, Calvin." ucap Nyonya Calisa tulus.

"Kenapa?"

"Kritikan dan pendapatmu tadi menunjukkan bahwa kamu bijak dan bisa berpikir luas. Kamu tak hanya baik hati, tapi berempati pada orang-orang miskin. Apa yang kamu lakukan selama ini untuk membantu mereka menjadi buktinya."

Satu sisi lain Nyonya Calisa yang mudah diketahui: suka mengekspresikan cinta dan memuji orang lain. Nyonya Calisa tak pernah canggung mengatakan 'I love you' jika ia benar-benar ingin mengatakannya pada orang-orang yang tepat. Memuji, memanggil dengan panggilan sayang, dan mengungkapkan kekaguman bukan hal sulit baginya. Ekspresi dan kata cinta wajar bagi Nyonya Calisa.

"I love you, Calvin."

"Love you too, Calisa. Aku tahu kamu pasti akan mendengarkanku."

"Ya. Jika kritikan ini hanya diucapkan pembaca yang tak begitu kukenal, mana mungkin kudengarkan? Kalau Mama, Papa, kamu, Clara, atau orang-orang terdekatku lainnya yang mengatakannya, akan kudengarkan dan kulakukan."

Memang begitulah sifat Nyonya Calisa. Tak mungkin diubah.

**    

"Ayah, kasihan mereka. Hidup dengan menyapu jalan dan mengumpulkan barang bekas." ujar Clara iba. Memperhatikan para pengumpul barang bekas dan penyapu jalan di jalan sekitar cafe.

"Iya, Sayang. Kita dekati mereka ya? Ayo."

Sejurus kemudian, Tuan Calvin meraih tangan Clara. Menggandengnya ke dekat para penyapu jalan dan pencari barang bekas itu.

Sejatinya, Tuan Calvin pribadi yang humble dan low profile. Ia mudah akrab dengan siapa saja. Tak segan berbaur dengan orang miskin sekali pun. Belum lagi ia memiliki sifat sabar. Pernah suatu kali seorang wanita kurang mampu menolak bantuannya. Wanita itu marah dan mengira Tuan Calvin menghinanya. Akan tetapi Tuan Calvin tetap bersikap baik dan lembut. Sampai akhirnya si wanita luluh.

"Selamat pagi..." sapa Tuan Calvin ramah.

Demi melihat Tuan Calvin, atensi pria-pria berpakaian lusuh dan bertubuh kurus itu teralih. Tak menyangka ada orang kaya yang mau menyapa mereka. Sekali pandang saja, mereka tahu status sosial Tuan Calvin jauh lebih tinggi.

Mudah bagi Tuan Calvin untuk akrab dengan mereka. Sejenak mengobrol dengan mereka. Memperhatikan pekerjaan mereka membersihkan jalan dan mencari barang bekas. Lalu mengundang mereka ke cafenya.

"Makan di cafe mewah itu?" tunjuk salah satu pria, setengah tak percaya.

"Iya...kalian boleh makan gratis di cafe saya."

"Jadi, Akang Kasep ini yang punya cafe? Wah, ayo teman-teman! Kita ke sana!" Kasep, lingua Sunda untuk kata 'tampan'. Mereka menyebut Tuan Calvin dengan sebutan 'akang' sebagai bentuk kesopanan dan rasa hormat. Meski kelihatannya Tuan Calvin jauh lebih muda.

Semangat mereka bangkit. Senang dan bersyukur. Tuan Calvin tersenyum memperhatikan tingkah pria-pria sederhana itu. Clara ikut tersenyum. Bangga dan kagum dengan Ayahnya.

"Kang, masih ada satu orang lagi. Boleh diajak, kan?"

"Oh ya? Boleh, ajak dia sekalian."

"Tuh orangnya."

Tuan Calvin mengikuti arah pandang si penyapu jalan. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Calvin Wan berpandangan dengan Syarif, ayah kandung Clara.

**     

Waiters sibuk menyajikan makanan dan melayani tamu-tamu istimewa yang diundang Tuan Calvin. Nyonya Calisa yang mengawasi pekerjaan mereka sejak tadi. Mulai dari memisahkan menu untuk pengunjung reguler dan tamu-tamu istimewa itu, proses plating, sampai cara menyajikan menu.

Sekali mengamati saja, tahulah Tuan Calvin kalau tamu-tamunya baru sekali ini makan di cafe. Mereka tak paham table manner. Canggung memakai pisau dan garpu. Sebagian besar dari mereka malah minta diajari table manner. Tuan Calvin mengajari mereka dengan sabar. Tetap tersenyum lembut dan simpatik meski mereka sangat sulit diajari. Tidak marah saat mereka melakukan kesalahan.

Tuan Calvin berkeliling di antara para tamu. Menanyai mereka. Mengajari mereka table manner. Hampir semua tamu mendapat perlakuan sama, kecuali Syarif. Keberadaan Syarif tak dianggap oleh Tuan Calvin. Ia melewati Syarif begitu saja dan berpindah pada tamu lain.

Syarif menelan kekecewaannya melihat sikap Tuan Calvin. Dalam hati membenarkan perkataan Reza. Tuan Calvin bukan orang baik. Tak ada orang baik yang memisahkan anak dengan ayah kandungnya. Di mata Syarif, semua kebaikan, raut wajah santun menyenangkan, sikap lembut, pembawaan charming, dan daya pikat Tuan Calvin hanyalah kamuflase.

Pisau yang dipegangnya meluncur lepas dari jemarinya dan jatuh. Sirloin steaknya gagal terpotong. Syarif bangkit untuk mengambil pisau. Celakanya, pisau itu jatuh di depan kaki Tuan Calvin.

Dalam keadaan terpaksa, Syarif berhadapan dengan Tuan Calvin. Perbedaan kedua pria ini sangat kontras. Syarif yang kurus, bermata sayu, dan berwajah kurang menarik. Tuan Calvin dengan kulit putih dan wajah orientalnya, lalu penampilannya yang elegan. Tinggi Syarif hanya 150 senti, sedangkan Tuan Calvin dua puluh lima senti lebih tinggi darinya.

Tuan Calvin tak bergerak sedikit pun untuk membantu Syarif. Jelas-jelas pisau itu jatuh tepat di depannya. Ia biarkan Syarif mengambilnya sendiri.

"Permisi, Tuan Calvin yang terhormat." Syarif menekan kata-katanya. Sakit hati dengan perilaku pria yang dianggapnya pura-pura baik itu.

"Tak perlu seperti itu." balas Tuan Calvin dingin.

"Kalau bukan karena teman-temanmu, aku takkan mau mengundangmu ke sini."

Syarif memegang erat pisau di tangan kirinya. Hatinya bergejolak dengan kemarahan.

"Aku juga tidak memintanya."

"Sombong sekali kamu. Sadar siapa dirimu, Syarif. Hanya ayah kandung yang tidak bisa apa-apa."

Ini sudah keterlaluan. Bukankah Tuan Calvin yang terjatuh dalam arogansi? Dengan kekuasaan dan kekayaannya, ia memisahkan Syarif dari Clara. Syarif dibuat tak berkutik dengan kelimpahan materi yang dimiliki Tuan Calvin.

"Harusnya aku yang mengatakan itu," desis Syarif.

"Kamu, Calvin Wan. Pria kaya yang angkuh dan menghalalkan segala cara untuk menjauhkan anak perempuan dari ayah kandungnya. Pria yang terlalu banyak pencitraan. Kamu berlindung di balik wajah alim dan amal baik."

Tuan Calvin stay cool. Ia tak peduli dengan penilaian Syarif.

"Whatever," katanya tajam dan penuh percaya diri. Membuat Syarif kebingungan. Pria berkulit hitam itu tak mengerti Bahasa Inggris.

"Poor dad and rich dad are different."

Saat mengatakan itu, Tuan Calvin teringat buku karya seorang pengusaha bernama Robert T. Kiyosaki yang pernah dibacanya. Buku itu terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama 'Rich Dad and Poor Dad'. Bagian kedua 'Cashflow Quadran'. Tuan Calvin suka buku itu. Di sana ia tahu bagaimana cara ayah yang kaya dan ayah yang miskin dalam mendidik anak. Pola pendidikan mereka sangat berbeda.

Sementara Syarif hanya bisa mengerutkan alis. Namun di saat bersamaan merasa sedih. Tuan Calvin jelas lebih pintar dan lebih segala-galanya dibandingkan dirinya.

"Kamu hanyalah ayah yang miskin, Syarif. Bagiku, ayah yang miskin tidak ada gunanya. Mereka tak bisa mendidik anak dengan baik."

Kalimat-kalimat Tuan Calvin menghantam kuat hati Syarif. Seperti itukah ayah angkat Clara? Ternyata Clara dirawat oleh seseorang yang arogan.

"Aku memang miskin...aku bukan ayah yang kaya sepertimu." Syarif berkata, suaranya tercekat emosi dan kemarahan.

"Tapi aku punya hati. Aku punya cinta."

"Cinta? Hati? Tidak cukup, Syarif. Membesarkan anak butuh materi." tukas Tuan Calvin sinis.

"Setidaknya cintaku lebih berharga dari cintamu." Getaran amarah terdengar jelas. Syarif mulai kehabisan kesabaran menghadapi ayah angkat Clara ini. Cinta Tuan Calvin adalah cinta obsesif. Cinta Syarif untuk Clara adalah cinta yang sejati. Cinta yang merelakan, mengikhlaskan, dan melepaskan.

"I love Clara unconditionally. Tak perlu alasan apa pun bagiku untuk mencintaiku. Aku mencintainya tanpa syarat. Dan jelas sekali aku mampu membesarkannya."

Syarif menghela nafas panjang. Perasaannya kacau. Sedih, menyesal, marah, dan kecewa. Harga dirinya jatuh. Di depan Tuan Calvin, Syarif merasa dirinya tak berguna.

"Jangan harap dia kembali. Clara sudah jadi milikku, selamanya akan begitu."

Inkonsistensi. Baru beberapa jam lalu Tuan Calvin mengkritik artikel Nyonya Calisa. Ternyata ia sendiri baru saja mendiskreditkan orang miskin. Syarif jadi korbannya. Tak mengapa, nobody perfect. Percayalah, Tuan Calvin melakukan itu karena rasa cintanya pada Clara.

**     

Syarif menurunkan gelasnya. Selera makannya hilang tak bersisa. Tuan Calvin pasti sengaja membangkitkan kemarahannya. Pamer kemesraan dengan Clara dan Nyonya Calisa. Menunjukkan betapa bahagianya mereka.

Realitanya mereka bertiga memang bahagia. Sangat serasi pula. Apa lagi yang kurang?

Kali ini mereka bernyanyi bersama diiringi dentingan lembut piano. Tuan Calvin sendiri yang memainkannya. Sombong sekali, pikir Syarif geram. Mengepalkan tangan di pangkuannya. Meski jengkel, mau tak mau Syarif minder juga. Tuan Calvin berbakat. Kalau dirinya, mana pernah menyentuh alat musik? Tanpa Tuan Calvin, Clara takkan bisa bernyanyi dan bermain musik. Apa jadinya bila Syarif yang membesarkan Clara?

"I love it, I hate it, and I can't take it. But I keep on coming back to you..."

Saat menyanyikan lirik 'Back to You', Tuan Calvin melempar pandang penuh arti ke arah Syarif. Tatapannya mengisyaratkan untuk tidak mengharapkan Clara kembali. Apa pun yang terjadi, Clara takkan kembali ke pelukan Syarif. Sia-sia saja Syarif terus berharap Clara akan kembali.

Hati Syarif kembali terasa sakit. Sampai kapankah ia harus bertahan dalam situasi ini? Tidak dianggap, tersakiti, dan terinjak harga dirinya? Kapankah takdir berpihak padanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun