"Iya, Sayang. Kita dekati mereka ya? Ayo."
Sejurus kemudian, Tuan Calvin meraih tangan Clara. Menggandengnya ke dekat para penyapu jalan dan pencari barang bekas itu.
Sejatinya, Tuan Calvin pribadi yang humble dan low profile. Ia mudah akrab dengan siapa saja. Tak segan berbaur dengan orang miskin sekali pun. Belum lagi ia memiliki sifat sabar. Pernah suatu kali seorang wanita kurang mampu menolak bantuannya. Wanita itu marah dan mengira Tuan Calvin menghinanya. Akan tetapi Tuan Calvin tetap bersikap baik dan lembut. Sampai akhirnya si wanita luluh.
"Selamat pagi..." sapa Tuan Calvin ramah.
Demi melihat Tuan Calvin, atensi pria-pria berpakaian lusuh dan bertubuh kurus itu teralih. Tak menyangka ada orang kaya yang mau menyapa mereka. Sekali pandang saja, mereka tahu status sosial Tuan Calvin jauh lebih tinggi.
Mudah bagi Tuan Calvin untuk akrab dengan mereka. Sejenak mengobrol dengan mereka. Memperhatikan pekerjaan mereka membersihkan jalan dan mencari barang bekas. Lalu mengundang mereka ke cafenya.
"Makan di cafe mewah itu?" tunjuk salah satu pria, setengah tak percaya.
"Iya...kalian boleh makan gratis di cafe saya."
"Jadi, Akang Kasep ini yang punya cafe? Wah, ayo teman-teman! Kita ke sana!" Kasep, lingua Sunda untuk kata 'tampan'. Mereka menyebut Tuan Calvin dengan sebutan 'akang' sebagai bentuk kesopanan dan rasa hormat. Meski kelihatannya Tuan Calvin jauh lebih muda.
Semangat mereka bangkit. Senang dan bersyukur. Tuan Calvin tersenyum memperhatikan tingkah pria-pria sederhana itu. Clara ikut tersenyum. Bangga dan kagum dengan Ayahnya.
"Kang, masih ada satu orang lagi. Boleh diajak, kan?"