Lebih banyak air mata membasahi pipinya. Andai para pembaca tahu yang sebenarnya, mereka takkan memujinya seperti ini. Andai mereka tahu betapa jahat Nyonya Calisa sebelumnya.
Nyonya Calisa merasa dirinya jahat. Siapakah dia ini sampai menghina Tuan Calvin waktu itu? Nyonya Calisa tak sebaik yang dibayangkan orang-orang. Di balik kecantikan wajahnya, keanggunannya, dan kepeduliannya pada orang lain, tersimpan masa lalu yang kelam. Tersimpan bekas luka yang dalam.
Tangan Nyonya Calisa bergetar saat membalas komentar-komentar itu. Satu tangannya yang lain menghapus air mata. Biarlah ia menyimpan kesedihannya sendiri. Saat Tuan Calvin tengah sibuk mencurahkan perhatiannya untuk Clara, Nyonya Calisa tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan.
"Apa jadinya bila mereka tahu?" gumam Nyonya Calisa pada dirinya sendiri.
Entah apa yang terjadi bila para pembaca benar-benar tahu. Figur penulis cantik, pengajar, penyiar radio, dan wanita berbakat itu ternyata pernah mendiskreditkan kemiskinan dan menghina suaminya sendiri. Nyonya Calisa pernah berbuat zalim pada beberapa orang. Akan tetapi, ia selalu berusaha memperbaiki diri. Nyonya Calisa bercermin dari masa lalunya.
Perlahan tangannya meraih sebentuk diary. Buku harian yang sudah bertahun-tahun tak disentuhnya. Tiap lembarnya memberikan banyak kenangan. Hanya satu pria yang dibolehkan melihat diary ini: Wahyu, cinta pertamanya. Bahkan Tuan Calvin tak boleh membacanya.
Lembaran pertama mulai dibuka. Tertangkap serangkaian kata yang ditulis dengan tergesa-gesa. Lirih Nyonya Calisa membisikkan kata demi kata itu pada dirinya sendiri. Di halaman pertama tertulis:
"Seks dan poligami, dua hal yang paling kubenci. Dan aku paling benci pada pria yang suka membicarakan seks. Apa mereka hanya melihat wanita sebatas body-nya saja? Bagaimana dengan wanita yang tidak punya objek seksual yang bagus? Dan apakah penyelesaian masalah bagi istri yang tidak bisa memberikan keturunan adalah poligami? Perasaanku selalu marah, sedih, kesal, dan benci tiap kali membaca atau mendengarkan sesuatu yang berkaitan dengan dua hal itu. Salah satu anggota keluargaku berpoligami. Apa yang terjadi? Dia tidak adil pada kedua istrinya. Anak-anak dari istri keduanya tak pernah diurus. Bahkan saat sang istri kedua melahirkan anaknya yang terakhir, suaminya tak ada. Barulah ketika anak itu berumur lima tahun, sang istri membawa anak itu pada suaminya. Sang suami tidak mengenali anak itu. Anak itu menangis dan terus memanggil Papanya. Tapi tetap saja, anak itu tak dikenali. Hati saya sangat pedih karenanya. Lebih baik saya tidak menikah dari pada harus dipoligami."
Masih tersisa bekas air mata di sana. Nyonya Calisa menulis catatan itu tanggal sembilan bulan kesembilan. Tanggal cantik yang merupakan hari ulang tahunnya. Di hari ulang tahunnya, ia justru melihat peristiwa menyedihkan.
Nyonya Calisa membalik halaman diarynya. Di halaman kedua, tertulis nama Tuan Calvin.
"Calvin sahabatku sejak kecil. Dia telah kuanggap sebagai saudara. Tak seperti kebanyakan pria lainnya, Calvin tak pernah berbicara seks di depanku. Calvin paham ketakutan dan kebencianku terhadap seks. Dia memahami kesedihan dan kesepianku. Kuharap sifatnya benar-benar seindah wajah orientalnya. Kuharap hatinya sebaik tulisan-tulisannya. Entah dia akan menyalahgunakan kepercayaanku atau tidak. Kuserahkan pada Allah dan waktu untuk menjawabnya."