"Sudah Calvin, sudah. Berhentilah menulis. Kamu harus istirahat." kata Nyonya Calisa panik.
"Tidak. Tinggal beberapa kalimat lagi. Aku harus menyelesaikannya." tolak Tuan Calvin tegas.
Sekeras apa pun Nyonya Calisa melarang, itu tak menghentikan Tuan Calvin untuk menyelesaikan artikelnya. Janji harus ditepati.
Akhirnya artikel itu selesai. Nyonya Calisa mengambil alih laptop milik suaminya. Menekan tombol save, lalu mematikan laptop. Memapah Tuan Calvin ke kamarnya. Membantunya berbaring di ranjang.
"Sorry, Calvin. Gara-gara aku, kamu memaksakan diri." bisik Nyonya Calisa.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan." ujar Tuan Calvin lembut.
Gurat keletihan terlukis dalam di wajah Tuan Calvin. Ia lelah fisik dan psikis. Hanya karena menulis artikel tentang infertilitas, hatinya terasa sakit. Jiwanya terguncang. Membahas tentang infertilitas sama saja membuka luka lama.
"Kamu pasti sedih harus mengungkapkan soal infertilitas di artikelmu." Nyonya Calisa berucap perlahan.
Tuan Calvin tak menjawab. Hanya merapatkan selimutnya. Prinsipnya tetap sama: menyimpan rasa sakit.
"Dulu aku sering menghinamu di awal pernikahan kita. Bahkan aku mempermalukanmu di depan teman-temanku. Kukatakan pada mereka kalau kamu mandul. Maafkan aku Calvin, maafkan aku..." sesal Nyonya Calisa.
"Tapi aku janji tidak akan melakukan itu lagi."