Telah lama ia sadari, seharusnya ia tak boleh mengharapkan cinta dari belahan jiwanya. Albert telah terikat kaul kebiaraan. Entah kaul sementara atau kaul kekal, gadis itu belum tahu. Tetap saja, tiga kaul itu telah mengikatnya. Kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan. Kecuali Allah berkehendak lain, tak ada lagi yang bisa menghentikan perjalanan panggilannya.
“Albert, kamu tahu? Nia, Renna, dan Calisa menyebutmu orang baik, lembut, penyayang, dan kebapakan. Itu semua benar. Itu adalah pujian yang tulus dan benar untukmu.” ucap si gadis bermata biru itu.
“Benarkah? Mereka suka memuji rupanya,” Albert tersenyum lembut.
Gadis itu tak puas-puas menatapi wajah lembut dan menenangkan itu. Tipe wajah lovable, sangat pantas untuk dicintai.
“Mamaku punya pesan untukmu,” bisiknya.
“Pesan apa? Oh ya, Mamamu mengirimkan e-mail padaku. Ucapan selamat ulang tahun.” Albert bertanya perlahan.
Bibir mungilnya terkatup rapat. Ya Allah, ia tak kuasa menyampaikannya. Sebagai gantinya, ditatapnya kedua mata teduh itu lekat-lekat. Seharusnya ia menyampaikannya.
“Aku...tidak bisa menyampaikannya sekarang.” Si gadis tergeragap, menundukkan wajah.
“Kenapa?”
“Karena...oh Albert, aku tak tahu. Mengapa kau tidak jujur padaku? Mengapa kau belum menjawab pertanyaanku? Hanya satu pertanyaan Albert, hanya satu.”
Air mata bergulir ke pipinya. Si gadis bermata biru menangis. Menyesali ketertutupan belahan jiwanya. Sekali lagi, ia memahami belahan jiwanya. Pastilah sang belahan jiwa mempunyai rasa segan dan malu. Sehingga ia belum bisa menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi, ia yakin kelak pertanyaan itu akan terjawab. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk untuk memperlihatkan jawaban atas pertanyaan itu.