“Kamu suka sekali mencarikan jodoh untuk orang lain. Itu menunjukkan betapa tidak egoisnya kamu. Kapan kamu akan mencari kebahagiaan dan belahan jiwamu?” Anton berujar lembut.
“Aku sudah menemukan belahan jiwa, Anton. Tapi aku memahami belahan jiwaku. Dia tidak menikah karena ingin menjadi pelayan Tuhan. Sudah hampir setahun aku mengenal dan mencintainya. Rasaku takkan berubah.”
Anton terenyak. Memandangi wajah sepupunya tak percaya. Terpancar kekaguman dan pengertian di sana.
“Aku mengerti. Semoga kamu bahagia ya? Dan bila pada akhirnya kalian ditakdirkan bersama, aku siap menerimanya sebagai saudara iparku. Dengan senang hati tentunya.”
“Terima kasih. Semoga saja.”
**
Gadis bermata biru itu sungguh berharap Anton akan segera menikahi Sarah. Ia pastikan Anton takkan menyesal menikahi Sarah. Pria mana pun akan senang mempunyai istri yang cantik, shalehah, rajin, dan bisa melayani suaminya. Sarah mampu memenuhi semua kualifikasi itu. Amat jauh berbeda dengan dirinya. Salah besar jika Anton berkeras menginginkannya.
Seperti hari ini. Pagi-pagi, Sarah sudah bangun. Shalat Shubuh, lalu turun ke pantry untuk memasak. Membuatkan sarapan. Membersihkan rumah. Akhir pekan tidak membuatnya bermalas-malasan. Calon istri idaman, pikir si gadis bermata biru kagum.
Clara, si gadis berwajah oriental itu, menyusulnya. Seperti biasa, tersenyum nakal memperhatikan Sarah yang begitu sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
“Kamu rajin sekali ya?” Entah itu pujian atau ejekan. Namun Sarah membalasnya dengan senyum.
“Kamu juga harusnya mulai belajar memasak dan membersihkan rumah. Calon istrinya Fajar masa nggak bisa apa-apa?” seloroh Sarah.