Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memahami Belahan Jiwa

18 April 2017   06:23 Diperbarui: 18 April 2017   06:54 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terinspirasi dari pesan Mama saya yang menginginkan kebahagiaan anaknya.

**     

“Yun Muskurayee, Tum nena jane kya.... Sapne de khaye, Aabto mera dil.”

Jika berinteraksi dengan mereka berdua, ingin rasanya si gadis bermata biru menyanyikan potongan lirik lagu itu. Ia senang bisa berbicara dengan dua orang yang ingin dijodohkannya. Dua orang yang masih menjadi bagian dari keluarganya.

“Lalu, kapan kamu akan melamar Sarah? Kamu belum memutuskan?” tanya si gadis bermata biru.

“Anton, tunggu apa lagi?”

Sudah cukup lama gadis bermata biru itu melakukan pendekatan pada sepupu jauhnya. Bukan karena asmara, melainkan niat hati ingin menjodohkan dengan gadis pilihannya.

“Wait...wait. Aku masih tak habis pikir. Kenapa kamu menginginkannya? Menginginkanku menikah dengan Sarah?” Anton balik bertanya.

“Karena kamu pantas untuk Sarah,” jawab gadis bermata biru itu yakin.

“Bagaimana jika aku tetap menginginkanmu?”

Si gadis terdiam. Pertanyaan Anton tak perlu dijawab. Sudah jelas.

“Maaf, kamu bukan belahan jiwaku. Jadikan Sarah sebagai belahan jiwamu. Sarah cantik, baik, dan lembut. Dia akan jadi istri yang sempurna untukmu.”

Ya, Anton mengakui itu. Sarah tumbuh semakin cantik seiring bertambah dewasa usianya. Dengan hidung mancung, perpaduan wajah Mongoloid yang sempurna, membuat Sarah sering disangka wanita India. Belum lagi sifatnya yang lembut. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, cantik, sukses, baik hati, dan lembut. Apa lagi kurangnya?

“Come on, sebelum aku berubah pikiran. Kamu tahu? Dulu aku sempat berniat menjodohkan Sarah dengan Albert. Sssttt...jangan bilang siapa-siapa ya?”

Sepasang mata bening milik pria 29 tahun itu melebar. “Albert, soulmate-mu itu? Biarawan  yang kamu cintai dengan hatimu? Kamu berniat menjodohkannya dengan gadis secantik Sarah?”

“Iya...tapi itu dulu. Soalnya, kulihat umur mereka tidak jauh beda. Mereka lahir di bulan yang sama. Mereka juga sama-sama lembut dan baik hati. Cocok, kan?” Senyum gadis itu merekah. Membayangkan Sarah dan Albert di saat bersamaan.

“Tidak! Tidak cocok!” sergah Anton tak terima.

“Cocok saja kok. Satunya tampan, satunya lagi cantik.” balas si gadis bermata biru diiringi senyum kecilnya. Buru-buru ia melanjutkan.

“Sebelum aku berubah pikiran, cepat-cepat nikahi Sarah. Kamu tidak rela kan, Sarah jadi istrinya Albert?”

“Oh sepupuku...kamu baik sekali. Di antara Sarah, Clara, Vallen, Della, dan Chelsea, kamu yang paling cantik bagiku. Apa Sarah tahu soal ini?”

Gadis bermata biru itu menggelengkan kepala. Anton tertawa kecil. Mengusap rambut panjang sepupu cantiknya. “Kamu tidak berubah ya? Suka bertindak di belakang layar. Selalu memikirkan orang lain. Kapan kamu memikirkan dirimu sendiri?”

“Kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaanku juga,” jawab si gadis diplomatis.

“Kamu suka sekali mencarikan jodoh untuk orang lain. Itu menunjukkan betapa tidak egoisnya kamu. Kapan kamu akan mencari kebahagiaan dan belahan jiwamu?” Anton berujar lembut.

“Aku sudah menemukan belahan jiwa, Anton. Tapi aku memahami belahan jiwaku. Dia tidak menikah karena ingin menjadi pelayan Tuhan. Sudah hampir setahun aku mengenal dan mencintainya. Rasaku takkan berubah.”

Anton terenyak. Memandangi wajah sepupunya tak percaya. Terpancar kekaguman dan pengertian di sana.

“Aku mengerti. Semoga kamu bahagia ya? Dan bila pada akhirnya kalian ditakdirkan bersama, aku siap menerimanya sebagai saudara iparku. Dengan senang hati tentunya.”

“Terima kasih. Semoga saja.”

**     

Gadis bermata biru itu sungguh berharap Anton akan segera menikahi Sarah. Ia pastikan Anton takkan menyesal menikahi Sarah. Pria mana pun akan senang mempunyai istri yang cantik, shalehah, rajin, dan bisa melayani suaminya. Sarah mampu memenuhi semua kualifikasi itu. Amat jauh berbeda dengan dirinya. Salah besar jika Anton berkeras menginginkannya.

Seperti hari ini. Pagi-pagi, Sarah sudah bangun. Shalat Shubuh, lalu turun ke pantry untuk memasak. Membuatkan sarapan. Membersihkan rumah. Akhir pekan tidak membuatnya bermalas-malasan. Calon istri idaman, pikir si gadis bermata biru kagum.

Clara, si gadis berwajah oriental itu, menyusulnya. Seperti biasa, tersenyum nakal memperhatikan Sarah yang begitu sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

“Kamu rajin sekali ya?” Entah itu pujian atau ejekan. Namun Sarah membalasnya dengan senyum.

“Kamu juga harusnya mulai belajar memasak dan membersihkan rumah. Calon istrinya Fajar masa nggak bisa apa-apa?” seloroh Sarah.

“Gampang. Belajarnya nanti saja, kalau sudah ijab dan kabul. Tidak usah memaksakan, kan bisa pakai pembantu.” jawab Clara ringan.

Clara memang berbanding terbalik dengan Sarah. Wajah mereka pun berbeda. Clara memiliki wajah oriental. Kulitnya putih. Sekilas melihatnya, orang akan mengira dia gadis keturunan Chinese. Raut wajahnya angkuh dan rambutnya pendek. Meski terlihat angkuh, hatinya sangat baik.

Lain lagi dengan gadis bermata biru itu. Orang sering menyebutnya Bule dan Boneka Barbie. Dikarenakan matanya yang biru dan wajahnya yang imut. Rambutnya jauh lebih panjang dari Sarah dan Clara. Kata orang-orang, ia sangat feminin dan anggun. Sebab ia menyukai bunga, senang bermain piano, dan lebih memilih memakai gaun dibanding jeans. Bukankah itu sangat wanita? Tipe perempuan sejati?

Sejak tadi, gadis Virgo bermata biru itu diam saja. Meski tak banyak bicara, ia lekat memperhatikan Sarah dan Clara. Dalam hati mendoakan kebahagiaan mereka. Berdoa agar Sarah dan Clara segera menikah. Mendoakan orang lain adalah sesuatu yang sering dilakukannya. Mendoakan orang lain mendatangkan kebaikan. Terlebih bila doa itu dilakukan dengan tulus.

**    

Kadang ingin aku bertemu

Dan berbagi waktu yang terlalui

Sukar tuk sadari

Ku tak boleh mengingini

Tanpamu cinta tak berarti

Cinta sudah lewat

Tak kukira kan begini

Mengapa harus kau terikat

Meski telah terucap

Hanya aku yang ada di hatimu (Kahitna-Cinta Sudah Lewat).

**    

Sepasang mata biru itu lekat menatapi seraut wajah tampan yang sangat dirindukannya. Sungguh, ia sangat rindu pada pemilik wajah itu.

“Aku sudah menerima surat dan kadomu. Terima kasih banyak ya...”

Suara barithon yang lembut dan empuk itu, tatapan teduh itu, takkan pernah dilupakannya. Ia senang bisa memberikan sesuatu untuk belahan jiwanya. Meski status sosial mereka berbeda, meski keyakinan mereka berbeda, namun cinta berhasil menembus tembok perbedaan itu. Menyergap hati mereka. Membelah jiwa mereka.

“Sama-sama.” jawab gadis bermata biru itu lirih.

“Maaf, aku masih menyelesaikan tugas-tugasku.”

Lagi-lagi gadis bermata biru itu memahami belahan jiwanya. Memahami situasi dan kondisinya. Ia hanya berharap, suatu saat nanti bisa menghabiskan waktu lagi bersama sang belahan jiwa. Bisa menolong dan memberikannya perhatian seperti waktu itu.

Telah lama ia sadari, seharusnya ia tak boleh mengharapkan cinta dari belahan jiwanya. Albert telah terikat kaul kebiaraan. Entah kaul sementara atau kaul kekal, gadis itu belum tahu. Tetap saja, tiga kaul itu telah mengikatnya. Kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan. Kecuali Allah berkehendak lain, tak ada lagi yang bisa menghentikan perjalanan panggilannya.

“Albert, kamu tahu? Nia, Renna, dan Calisa menyebutmu orang baik, lembut, penyayang,  dan kebapakan. Itu semua benar. Itu adalah pujian yang tulus dan benar untukmu.” ucap si gadis bermata biru itu.

“Benarkah? Mereka suka memuji rupanya,” Albert tersenyum lembut.

Gadis itu tak puas-puas menatapi wajah lembut dan menenangkan itu. Tipe wajah lovable, sangat pantas untuk dicintai.

“Mamaku punya pesan untukmu,” bisiknya.

Pesan apa? Oh ya, Mamamu mengirimkan e-mail padaku. Ucapan selamat ulang tahun.” Albert bertanya perlahan.

Bibir mungilnya terkatup rapat. Ya Allah, ia tak kuasa menyampaikannya. Sebagai gantinya, ditatapnya kedua mata teduh itu lekat-lekat. Seharusnya ia menyampaikannya.

“Aku...tidak bisa menyampaikannya sekarang.” Si gadis tergeragap, menundukkan wajah.

“Kenapa?”

“Karena...oh Albert, aku tak tahu. Mengapa kau tidak jujur padaku? Mengapa kau belum menjawab pertanyaanku? Hanya satu pertanyaan Albert, hanya satu.”

Air mata bergulir ke pipinya. Si gadis bermata biru menangis. Menyesali ketertutupan belahan jiwanya. Sekali lagi, ia memahami belahan jiwanya. Pastilah sang belahan jiwa mempunyai rasa segan dan malu. Sehingga ia belum bisa menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi, ia yakin kelak pertanyaan itu akan terjawab. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk untuk memperlihatkan jawaban atas pertanyaan itu.

“Aku selalu ada untukmu, Albert. Apa pun jawabannya, penilaianku padamu tidak akan berubah. Aku mencintai kelebihan dan kekuranganmu.”

**    

Pesan itu tak disampaikannya. Ia justru mengingat awal-awal perkenalannya dengan sang belahan jiwa. Dulu, ia menyangka belahan jiwanya itu berdarah campuran. Blasteran tepatnya. Lucu juga bila mengingat saat-saat itu.

Tanpa terasa, ia tiba di rumah. Terlihat Mamanya sibuk dengan ponsel pintarnya.

“Hei...sini, Non. Kata Om Yazid, Lebaran tahun ini keluarga besar mau berkumpul di Bandung.” ujar Mama ceria.

“Oh ya? Bagus kalo gitu. Di rumah kita, kan?”

“Iya. Mereka sudah mempersiapkan semuanya. Insya Allah mereka akan datang tanggal 24 Juni, sehari sebelum Idul Fitri.”

Perfeksionis. Semuanya telah diatur dengan baik. Terencana dan sistematis. Benar-benar ciri khas keluarga besarnya.

“Kata Mama Lina, Vallen akan bertunangan Bulan Juli nanti. Mama akan membantu semua persiapannya. Mulai dari hantaran sampai acaranya. Tidak apa-apa kan, Gadisku?”

Sudah diduganya Mama akan melakukan hal itu. Mamanya tipe wanita yang sangat perhatian pada orang lain, khususnya keluarga. Acara lamaran keponakannya saja diperhatikan dan dipersiapkan dengan baik, bagaimana bila anakanya yang akan dilamar? Gadis itu kenal betul siapa Mamanya.

“Pasti Mama akan memberikan yang terbaik untuk membantu prosesi itu,” gumam gadis bermata biru itu.

“Oh pasti...nanti hidangan dan hantarannya akan dibuat semewah mungkin. Ini juga memperlihatkan derajat keluarga besar kita,” jelas Mama antusias.

“Bagaimana jika aku yang dilamar suatu saat nanti?”

“Mama akan memberikan yang jauh lebih baik. Apa lagi buat anak Mama sendiri.”

Gadis bermata biru itu tersenyum sedih. Memangnya ada yang mau dengannya? Mencarikan pasangan dan melihat orang lain bahagia saja itu sudah cukup. Dirinya tak lagi mengharapkan pernikahan. Kebahagiaan orang lain jauh lebih penting.

“Kamu sudah bilang soal bisnis itu?”

Pertanyaan Mama membuyarkan lamunannya. “Apa? Bisnis yang mana?”

“Berarti kamu belum bilang. Katakan padanya, jangan khawatir bila hanya menyangkut biaya dan pekerjaan. Mama akan mengajaknya dalam bisnis keluarga. Jika pada akhirnya dia keluar dari tempat itu dan dia memutuskan untuk bersamamu, dia yang akan mengurus bisnis itu.”

Sepasang mata biru itu terbelalak. Rasanya tidak semudah itu. Ia tahu, Mama memiliki maksud baik. Dalam pandangan Mamanya, segalanya terlalu mudah. Jika akan menyampaikan pesan ini, ia harus berhati-hati. Ia tidak ingin menyakiti perasaan dan menginjak harga diri belahan jiwanya. Gadis bermata biru itu harus mencari momen yang tepat untuk menyampaikannya. Ini sekedar pesan, melainkan tawaran dan restu. Tawaran bisnis dan restu dari seorang ibu yang menginginkan putrinya bahagia dengan pria pilihan hidupnya. Ibu yang satu ini tak pernah main-main dengan ucapannya.

Bagi Mama, persoalannya hanyalah seputar materi, kekayaan, dan kemiskinan. Kenyataannya tak hanya sebatas materi. Ini pun menyangkut prinsip, cinta pada Tuhan, dan hutang budi. Si gadis sangat memahami hal ini. Seorang biarawan bertransformasi menjadi pebisnis? Rasanya riskan, bahkan mustahil. Kecuali Allah memberikan kuasa-Nya atas perkara ini.

Apakah itu mungkin? Apakah skenario Allah yang sesungguhnya untuk urusan ini? Gadis bermata biru itu hanya bisa menunggu dan menunggu. Melihat apa kelanjutannya kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun