Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lembaran-lembaran Hidup: Aku Pun Ingin Hidup Normal

27 Februari 2017   07:12 Diperbarui: 27 Februari 2017   08:25 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu memang ritualnya. Selalu mengosongkan jadwal di hari ulang tahunnya. Hanya ingin ditemani beberapa orang yang sungguh dicintainya. Ironis. Salahkah jika ia kecewa? Ia tidak pernah merasakan kado dan surprise party dari teman-temannya. Ulang tahunnya dirayakan, tapi oleh keluarganya. Kado ia dapatkan, tapi dari keluarganya. Tak satu pun teman yang memberinya kado. Astaghfirulah, mengapa ia jadi berharap dapat kado? Tidak boleh. Tidak boleh.

**    

10 Oktober

Lembaran 10

Keajaiban luar biasa! Bundanya mengizinkannya pergi dengan pasien sok jual mahal itu! Pertama kali setelah 19 tahun hidup, Bunda mengizinkannya pergi dengan seorang pria. Benar-benar melepasnya. Mempercayakannya ke tangan pria itu. Oh my God! Itu artinya, Bunda sudah benar-benar mempercayai pria itu!

Mereka melangkah bergandengan tangan. Melewatkan sore berhujan di cafe yang cukup romantis. Bagaimana tidak romantis? Letaknya di puncak Joyoagung, Malang. Hebat, kan? Gadis bodoh, diffable, Bule asli tapi palsu, tukang menyamar, manja, childish, korban bully di sekolah berasrama, gadis yang mungkin tak layak dicintai pria mana pun, bisa melakukan perjalanan romantis dengan seorang pria. Pria sederhana yang sangat tampan. Pria yang terikat kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan. Cake dan coklat hangat menemani mereka. Tak tanggung-tanggung, si pria menyuapi gadis Bule itu. Memeluknya, menenangkannya, mengusap lembut sisa coklat di bibirnya. Sungguh, ini kali pertama ia disentuh seorang pria. Pria yang memberinya sentuhan kasih. Begini rasanya dipeluk seorang pria. Okey, dia memang pernah berpacaran. Dua kali malah. Namun tak sekali pun ia berkontak fisik dengan kekasih-kekasihnya. Hanya pada pria berkaul itu ia menerima sentuhan kasih. Sentuhan kasih yang membuatnya tersadar. Psikoseksualnya belum matang.

Sentuhan kedua dari sepupunya. Pria yang tak kalah baiknya. Bahkan sang sepupu seumuran dengan pasien sok jual mahal yang mengajaknya ke cafe di puncak Joyoagung itu. Sepupunya sangat baik. Ia mengelus rambutnya, menepuk lembut pundaknya. Sentuhan kedua. Geelisah. Sistem hormonalnya kacau. Ini rasanya disentuh seorang pria. Ia takkan pernah melupakannya. Sembilan belas tahun, baru sekarang ia merasakan sentuhan kasih dari lawan jenis. Teman-temannya yang lain sudah berulang kali merasakannya. Miris ya?nya

**    

11 November

Lembar ke11

Ia senang menulis. Menulis apa saja. Media jurnalisme warga terbesar di republik ini menjadi tempatnya berbagi. Sebuah dunia baru baginya. Dunia kecil tapi indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun