Rupanya ia senang mengajar. Ia senang bisa memberikan bibit kecerdasan pada orang lain. Dari situlah ketertarikannya untuk mengajar dan berbagi ilmu pada orang lain bangkit. So, anak Bule itu tak pernah ragu mengajari teman-temannya. Membagi ilmu pada teman-temannya. Membacakan buku pada adik kelasnya yang belum bisa membaca dengan benar. Semua itu dilakukannya dengan tulus, ikhlas, dan bahagia.
** Â Â
2 Februari
Lembar kedua
Dari hari ke hari, firasatnya semakin kuat. Ia yakin ibu dari sahabatnya akan meninggal. Entah, ilmu firasat mulai berkembang dalam dirinya sejak kecil. Tuhan seolah mengizinkannya melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Ternyata benar. Ibu dari sahabatnya meninggal. Penyakit kanker merenggut nyawanya. Saat itu si anak Bule sedang sakit. Hanya bisa terbaring di tempat tidurnya. Bunda yang mewakilinya melayat ke rumah sahabatnya. Memberikan bantuan berupa uang. Menguatkan keluarga yang ditinggalkan.
Bundanya sangat baik. Bundanya yang telah sukses mendidik dan mengajarinya. Bukan Ayah. Ayah memang ada di rumah dan di kantor, tapi tidak pernah ada untuk anaknya. Berbeda dengan Bunda. Meski wanita karier, kemampuannya membagi waktu sangat luar biasa. Karier dan keluarga bisa diseimbangkan. Bundanya mengajarkan untuk hidup seimbang. Lebih menyenangkan lagi, semua teman dan sahabatnya adalah anak Bundanya juga. Jadi, bukan hanya dia yang merasakan kasih sayang Bundanya.
** Â Â
3 Maret
Lembaran 3
Semakin ia dewasa, semakin banyak panggilan sayang yang dilekatkan padanya. Princess, Peri Kecil, dan Adik Cantik. Ia pun juga tak tahu mengapa dipanggil seperti itu. Tapi ia senang menerimanya. Kini ia tahu apa arti panggilan sayang. Ia bahkan tak segan memberi panggilan sayang pada orang-orang terdekatnya.