“Nanti kita ke makam Eyang juga kan?”
“Iya. Kamu pasti kangen Eyang...”
Gadis itu memainkan kalungnya. Ya, ia rindu Eyang Putri. Mengingat banyak kenangan indah bersama almarhumah sejak kecil hingga beranjak dewasa.
“Mama belum sempat bilang Eyang Putri sejak resign dari kantor.” Mamanya kembali berkata.
Setelah meminum green tea-nya, gadis itu berujar. “Ma, aku jadi ingat cerita Uti Yulia. Betapa dekatnya Mama dengan Eyang. Mama selalu bisa diandalkan. Tiap kali ada acara keluarga atau ada tamu, Eyang mempercayakan semuanya pada Mama. Kata Eyang, Mama paling rajin dan setia di antara putra-putri Eyang lainnya.”
Mama tersenyum. Kali ini membelai tangan kanan putrinya yang tinggal semata wayang. “Oh ya?”
“Iya...”
Sesaat hening. Mama menatap sedih silky pudding-nya.
“Sekarang kita nggak bisa berkumpul lagi di rumah itu. Bahkan mengadakan acara peringatan 100 hari dan ulang tahun kematian nanti, tidak bisa di sana lagi. Dionesia dan Gabriel berbeda keyakinan dengan kita semua, selain itu mereka tidak mampu. Mustahil kita meminta mereka membuat acara tahlilan Eyang di sana.”
Lagi-lagi Mamanya menyinggung soal agama. Entah, hatinya menolak itu. Mengapa soal agama harus disebut? Namun kenyataannya memang mustahil meminta Nyonya Dionesia dan Tuan Gabriel mengadakan tahlilan di rumah itu. Sejak rapat keluarga besar, Nyonya Dionesia dan Tuan Gabriel dijauhi keluarga. Mereka disalahkan dan dianggap hanya menjadi beban. Hanya bisa merebut hak milik orang lain. Nyonya Yulia yang paling kuat rasa tidak sukanya.
“Ah, Mama jadi ingat. Bagaimana kabar pemuda itu? Si pemilik cangkir cantik itu?” tanya Mama ringan.