Mungkin ia bukan bagian penting. Pastilah ia tidak ada apa-apanya dibandingkan biara dan komunitas religius itu. Ia hanya orang luar yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan membiara lelaki itu. Bisa saja ia disebut gadis pengganggu, penggoda calon Imam, atau apa pun sebutan negatif lainnya.
Dirapatkannya selimutnya, didekapnya bonekanya makin erat. Pemuda itu pernah mengatakan untuk tidak bergantung kepadanya. Bahwa ia tak bisa membuang waktu untuk hal lain kecuali tugas kampus dan kehidupan berkomunitas. Sementara gadis itu? Mencoba memposisikan hidupnya secara seimbang. Kegiatan akademik dan non akademik berjalan selaras. Aktivitas sekuler diseimbangkan dengan aktivitas rohani. Tapi ternyata, pemuda dalam biara itu punya pandangan lain. Baginya, semua hal kecuali studi filsafat teologi dan hidup rohani bukanlah hal penting. Bukanlah hal yang pantas diperhatikan, cukup diabaikan saja.
Ayat ke-13 Surah Al Hujurat dan ayat ke-11 Ar-Ra’d adalah penghiburannya. Ia senang membaca kedua ayat itu. Mendalami artinya. Menghibur hatinya dengan dua firman Allah yang begitu indah.
Perlahan ia beranjak. Melepas selimutnya, meletakkan boneka dan Al-Qur’an. Berjalan meninggalkan kamar. Berhenti tepat di depan piano hitamnya.
Batinnya yang terluka mengarahkannya untuk menyanyi dan memainkan piano. Memejamkan mata, lalu memulai lagu. Ia membayangkan bagaimana rasanya bertukar posisi dengan Albert Arif. Bagaimana jika pemuda di dalam biara itu merasakan apa yang dia rasakan? Apakah dia masih sampai hati melukai perasaan gadis yang tulus padanya? Gadis yang mulai terbiasa atas sikapnya meski hatinya terasa sakit? Bagaimana jika situasi yang dihadapi gadis ini berbalik kepadanya? Tidakkah ia akan lebih sakit, hampa, dan terluka?
hadirmu hanya sekilas dihidupku
namun meninggalkan luka
tak terhapus oleh waktu
tertawa hanya tuk tenangkan jiwa
namun yang kurasa hampa
semua hilang tak tersisa