“Kok kalian tahu sih?” tanyanya keheranan.
“Tahu dong. Kita kan punya paranormal di sini. Kado Natal itu jadi buktinya,” Chika dan Nico otomatis menunjuk Renna.
Tiwi meletakkan gelas vanilla latte-nya. “Paranormal atau mata-mata?”
“Paranormal. Paranormal yang melihat dengan mata batin. Itulah Renna. Makanya aku cinta sama dia,” sergah Rafly.
Semua anak menahan nafas. Cinta, kembali diangkat ke permukaan. Cinta yang sesungguhnya terlarang. Mereka tidak boleh saling mencintai, berelasi, apa lagi menikah jika masih ingin menjadi anggota keluarga besar organisasi itu. Mereka telah terikat janji.
“Sssttt...hati-hati lho. Nanti kalo tiba-tiba ada Kang Erwin, Teh Ayumi, Kang Rangga, atau Teh Zakiya gimana? Jangan-jangan, di sini ada CCTV-nya.”
Melihat Tiwi begitu ketakutan, Ikbal membelai lengannya. Menenangkan gadis itu.
“Tenang, Honey. Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa.”
“What? Honey?”
Tiba-tiba Chika bangkit berdiri. Berputar anggun di depan mereka, berpose, lalu memasang ekspresi sedih. Dengan suara soprannya, ia menyanyikan potongan lirik lagu yang mewakili perasaan mereka semua.
“Andai saja ada jalan untuk kita bersatu...namun biarlah ini menjadi kenangan manis engkau dan aku. Mungkin Tuhan ingin kita bersama, tapi tidak dengan sekitar kita. Mungkin lebih baik, mungkin lebih baik sayang, mungkin lebih baik sayang. Ku menghilang...ku menghilang.”