3,61. Tiga angka itu ditatapnya lekat. Indeks prestasinya semester ini. Cum laude. Seperti semester sebelumnya. Bahkan IP-nya jauh lebih besar.
Sepercik rasa syukur bercampur heran. Syukur karena prestasi akademiknya cukup memuaskan. Heran lantaran ia tak pernah hadir secara full di kelas, namun mendapat nilai bagus. Waktunya terbagi antara kegiatan akademik dan non akademik.
“Tiga koma enam satu? Alhamdulillah...”
Mama tersenyum puas. Mengelus rambutnya. “Semester depan ditingkatkan ya?”
Ia hanya mengangguk. Sejurus kemudian meraih handphone. Bercerita pada orang-orang yang menurutnya bisa ia percaya. Monsieur Aran bersyukur dan mendoakannya. Anton bangga padanya. Keren, itulah tanggapan Rinie dan Boris. Mr. Johanis senang dan mengharapkannya meningkatkan prestasi. Proficiat, ungkapan senada yang dilontarkan Pater Gordi dan Mr. Pebrianov. Renna dan sahabat-sahabatnya menyampaikan hal yang sama.
Lalu, bagaimana dengan yang berjubah dan yang telah melepas jubah? Ia pun berbagi kebahagiaan dengan mereka.
**
“Minggu depan kamu ikut ya? Mama sama Papamu harus mengurus perpanjangan SIM A.” pinta sang Mama.
“Okey. Berarti nanti aku bisa ke rumah Della dan ketemu keluarga besar?”
“Bisa, Non.”
Saat itu mereka berada di food court sebuah mall. Bersantai sejenak setelah mengunjungi klinik kecantikan langganan mereka. Soal jalan-jalan dan makan di luar, ibu dan anak satu ini memang kompak.
“Nanti kita ke makam Eyang juga kan?”
“Iya. Kamu pasti kangen Eyang...”
Gadis itu memainkan kalungnya. Ya, ia rindu Eyang Putri. Mengingat banyak kenangan indah bersama almarhumah sejak kecil hingga beranjak dewasa.
“Mama belum sempat bilang Eyang Putri sejak resign dari kantor.” Mamanya kembali berkata.
Setelah meminum green tea-nya, gadis itu berujar. “Ma, aku jadi ingat cerita Uti Yulia. Betapa dekatnya Mama dengan Eyang. Mama selalu bisa diandalkan. Tiap kali ada acara keluarga atau ada tamu, Eyang mempercayakan semuanya pada Mama. Kata Eyang, Mama paling rajin dan setia di antara putra-putri Eyang lainnya.”
Mama tersenyum. Kali ini membelai tangan kanan putrinya yang tinggal semata wayang. “Oh ya?”
“Iya...”
Sesaat hening. Mama menatap sedih silky pudding-nya.
“Sekarang kita nggak bisa berkumpul lagi di rumah itu. Bahkan mengadakan acara peringatan 100 hari dan ulang tahun kematian nanti, tidak bisa di sana lagi. Dionesia dan Gabriel berbeda keyakinan dengan kita semua, selain itu mereka tidak mampu. Mustahil kita meminta mereka membuat acara tahlilan Eyang di sana.”
Lagi-lagi Mamanya menyinggung soal agama. Entah, hatinya menolak itu. Mengapa soal agama harus disebut? Namun kenyataannya memang mustahil meminta Nyonya Dionesia dan Tuan Gabriel mengadakan tahlilan di rumah itu. Sejak rapat keluarga besar, Nyonya Dionesia dan Tuan Gabriel dijauhi keluarga. Mereka disalahkan dan dianggap hanya menjadi beban. Hanya bisa merebut hak milik orang lain. Nyonya Yulia yang paling kuat rasa tidak sukanya.
“Ah, Mama jadi ingat. Bagaimana kabar pemuda itu? Si pemilik cangkir cantik itu?” tanya Mama ringan.
Mata birunya melebar. Andai saja Mama menanyakan hal lain, mungkin ia lebih siap. Mengapa harus bertanya tentang pemuda itu sekarang? Beberapa waktu berlalu tanpa kabar dari pemuda itu, bisik hati kecilnya. Tak ia katakan itu semua pada Mamanya. Mamanya hanya tahu segalanya baik-baik saja. Lama-kelamaan, ia menyadari jika sang Mama care pada pemudanya. Ia sendiri tak keberatan bila harus membagi kasih sayang Mamanya dengan pemuda itu. Bukankah sudah sering terjadi? Mamanya adalah Mama untuk sahabat-sahabat dan orang-orang terdekatnya?
**
We'll try not to show that ad again
Ad closed by
i got a condo in manhattan
baby girl, what’s hatnin’?
you and your *ss invited
so gon’ and get to clappin’
so pop it for a pimp
pop it for me
turn around and drop it for a pimp
drop, drop it for me
i’ll rent a beach house in miami
wake up with no jammies
lobster tail for dinner
julio serve that scampi
you got it if you want it
got, got it if you want it
said you got it if you want it
take my wallet if you want it now
jump in the cadillac, girl, let’s put some miles on it
anything you want, just to put a smile on it
you deserve it baby, you deserve it all
and i’m gonna give it to you
girl, you be shining so bright
strawberry champagne all night
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
s*x by the fire at night
silk sheets and diamonds all white
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
i’m talkin’ trips to puerto rico
say the word and we go
you can be my freaka
girl, i’ll be on fleek, mami cita
i will never make a promise that i can’t keep
i promise that you’ll smile and gon’ never leave
shopping sprees in paris
everything 24 karat
take a look in that mirror
now tell me who’s the fairest
is it you? is it me?
say it’s us and i’ll agree, baby
jump in the cadillac, girl, let’s put some miles on it
anything you want, just to put a smile on it
you deserve it baby, you deserve it all
and i’m gonna give it to you
girl, you be shining so bright
strawberry champagne all night
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
s*x by the fire at night
silk sheets and diamonds all white
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
if you say you want a good time
well here i am baby, here i am baby
talk to me, talk to me, talk to me
say what’s on your mind
if you want it, girl come and get it
all this is here for you
tell me baby, tell me, tell me baby
what you tryna do
girl, you be shining so bright
strawberry champagne all night
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
s*x by the fire at night
silk sheets and diamonds all white
lucky for you, that’s what i like, that’s what i like
lucky for you, that’s what i like, that’s what I like (Bruno Mars-That’s What I Like).
Gadis itu mempercepat langkahnya. Ia hampir terlambat. Suara barithon yang tengah bernyanyi di ruangan tak lain Ikbal. Siapa lagi?
Di pintu cafe, ia nyaris bertabrakan dengan Rafly. Rafly tersenyum lebar, lalu melontarkan sapaan khasnya.
“Hai Teteh Bule Jadi-Jadian...”
Ingin rasanya gadis itu tertawa. Dalam keadaan begini, Rafly masih sempat bercanda.
“Hai Fanboy...” balasnya.
Julukan-julukan ini memang wajar. Rafly menyematkan panggilan demikian karena melihat mata dan wajahnya. Sedangkan si gadis menyebut Rafly Fanboy karena kesukaan pemuda itu pada semua hal yang berhubungan dengan K-Pop.
“Guys, nih si Teteh Bule Jadi-Jadian baru dateng!” Rafly berseru riang. Sukses mengalihkan perhatian teman-temannya.
Ikbal selesai bernyanyi. Bergegas turun dari panggung kecil di tengah ruangan, kemudian menyambut gadis dengan cocktail dress putih itu.
“Hei, akhirnya kamu datang. Sini duduk,” ajak Ikbal disertai senyum simpatiknya.
“Iya. Happy birthday, Ikbal. Semoga selalu sehat dan sukses. Jangan lupa bahagia ya.”
Ikbal tersenyum. Mengantar gadis itu ke kursi. “Makasih ya. Doa yang sama buat kamu.”
“Kadonya mana nih?” canda Tiwi.
“Masa dateng aja, nggak kasih kado?” timpal Nico, Andini, dan Albert Fast.
“Ooooh...sorry sorry. Aku nggak sempat siapin kado buat kamu. Sorry Ikbal...”
“Kalo buat Ikbal no, kalo buat Albert Arif yes. Iya kan?” goda Renna.
Rona merah merayapi pipi gadis itu. Sementara teman-temannya tertawa.
“Kok kalian tahu sih?” tanyanya keheranan.
“Tahu dong. Kita kan punya paranormal di sini. Kado Natal itu jadi buktinya,” Chika dan Nico otomatis menunjuk Renna.
Tiwi meletakkan gelas vanilla latte-nya. “Paranormal atau mata-mata?”
“Paranormal. Paranormal yang melihat dengan mata batin. Itulah Renna. Makanya aku cinta sama dia,” sergah Rafly.
Semua anak menahan nafas. Cinta, kembali diangkat ke permukaan. Cinta yang sesungguhnya terlarang. Mereka tidak boleh saling mencintai, berelasi, apa lagi menikah jika masih ingin menjadi anggota keluarga besar organisasi itu. Mereka telah terikat janji.
“Sssttt...hati-hati lho. Nanti kalo tiba-tiba ada Kang Erwin, Teh Ayumi, Kang Rangga, atau Teh Zakiya gimana? Jangan-jangan, di sini ada CCTV-nya.”
Melihat Tiwi begitu ketakutan, Ikbal membelai lengannya. Menenangkan gadis itu.
“Tenang, Honey. Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa.”
“What? Honey?”
Tiba-tiba Chika bangkit berdiri. Berputar anggun di depan mereka, berpose, lalu memasang ekspresi sedih. Dengan suara soprannya, ia menyanyikan potongan lirik lagu yang mewakili perasaan mereka semua.
“Andai saja ada jalan untuk kita bersatu...namun biarlah ini menjadi kenangan manis engkau dan aku. Mungkin Tuhan ingin kita bersama, tapi tidak dengan sekitar kita. Mungkin lebih baik, mungkin lebih baik sayang, mungkin lebih baik sayang. Ku menghilang...ku menghilang.”
Mereka terpana menyaksikan Chika mengekspresikan isi hatinya. Isi hati mereka semua.
Andini menggenggam tangan Albert Fast. Tiwi dan Ikbal menundukkan wajah. Renna dan Rafly tanpa sadar berangkulan. Nico memandang sendu wajah Chika. Sedangkan si gadis bermata biru dan bergaun putih mempererat pegangannya pada gelas kaca. Hati mereka serapuh gelas kaca itu. Hati mereka rapuh lantaran cinta terlarang. Cinta yang tak mungkin bersatu kecuali Tuhan berkata lain. Sama terlarangnya seperti cinta Romeo dari Keluarga Montague dan Juliet dari Keluarga Capulet.
Beberapa orang menganggap mereka masih kecil. Faktanya, mereka sudah mengerti arti cinta. Mereka mencintai satu orang, dan tetap setia mencintainya meski tak mungkin untuk memiliki. Sekali pun kelak mereka akan berjodoh dengan orang lain, hati dan cinta mereka tetap untuk satu orang yang mustahil untuk dimiliki. Satu hati untuk satu cinta. Itulah prinsip mereka.
“Sudah, sudah. Kita ke sini buat rayain ultahnya Kang Ikbal. Jangan rusak kebahagiaan yang ulang tahun ya?” Albert Fast menengahi.
“Betul. Lupakan dulu soal asmara, itu bisa nanti. Iya kan, Teteh Bule Jadi-Jadian? Bule beneran kan tinggi, masa yang ini Cuma matanya aja yang mirip. Tuh kayak mereka...” Rafly berkata mencairkan suasana. Menunjuk Albert Fast, Renna, dan Chika.
“Itu baru yang asli ya? Bukan KW?”
Mereka kembali tertawa. Kebekuan berganti kehangatan. Atmosfer sedih bertransformasi menjadi bahagia.
Sadar atau tidak, momen ini menguatkan hati mereka. Hati mereka rapuh dan butuh penguatan. Di sinilah mereka saling menguatkan. Cinta membuat mereka rapuh. Cinta pulalah yang membuat mereka kembali kuat.
**
Tengah malam, gadis itu kembali sendirian di kamarnya. Berteman kesunyian dan boneka cantiknya. Hanya kepada Allah Azza Wa Jala ia mengadu. Mencurahkan segala perih di hatinya.
Perih ini membuat hatinya rapuh. Sakit ini menggerogoti jiwanya. Tak sadarkah pemuda di dalam tembok biara itu jika ada perbuatannya yang telah melukai hati?
Mungkin ia bukan bagian penting. Pastilah ia tidak ada apa-apanya dibandingkan biara dan komunitas religius itu. Ia hanya orang luar yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan membiara lelaki itu. Bisa saja ia disebut gadis pengganggu, penggoda calon Imam, atau apa pun sebutan negatif lainnya.
Dirapatkannya selimutnya, didekapnya bonekanya makin erat. Pemuda itu pernah mengatakan untuk tidak bergantung kepadanya. Bahwa ia tak bisa membuang waktu untuk hal lain kecuali tugas kampus dan kehidupan berkomunitas. Sementara gadis itu? Mencoba memposisikan hidupnya secara seimbang. Kegiatan akademik dan non akademik berjalan selaras. Aktivitas sekuler diseimbangkan dengan aktivitas rohani. Tapi ternyata, pemuda dalam biara itu punya pandangan lain. Baginya, semua hal kecuali studi filsafat teologi dan hidup rohani bukanlah hal penting. Bukanlah hal yang pantas diperhatikan, cukup diabaikan saja.
Ayat ke-13 Surah Al Hujurat dan ayat ke-11 Ar-Ra’d adalah penghiburannya. Ia senang membaca kedua ayat itu. Mendalami artinya. Menghibur hatinya dengan dua firman Allah yang begitu indah.
Perlahan ia beranjak. Melepas selimutnya, meletakkan boneka dan Al-Qur’an. Berjalan meninggalkan kamar. Berhenti tepat di depan piano hitamnya.
Batinnya yang terluka mengarahkannya untuk menyanyi dan memainkan piano. Memejamkan mata, lalu memulai lagu. Ia membayangkan bagaimana rasanya bertukar posisi dengan Albert Arif. Bagaimana jika pemuda di dalam biara itu merasakan apa yang dia rasakan? Apakah dia masih sampai hati melukai perasaan gadis yang tulus padanya? Gadis yang mulai terbiasa atas sikapnya meski hatinya terasa sakit? Bagaimana jika situasi yang dihadapi gadis ini berbalik kepadanya? Tidakkah ia akan lebih sakit, hampa, dan terluka?
hadirmu hanya sekilas dihidupku
namun meninggalkan luka
tak terhapus oleh waktu
tertawa hanya tuk tenangkan jiwa
namun yang kurasa hampa
semua hilang tak tersisa
bayangkan rasakan
bila semua berbalik kepadamu
bayangkan rasakan
bila kelak kau yang jadi diriku
terdiam ditengah heningnya malam
mencoba tuk memaafkan
dan melupakan kesedihan
maaf sangat sulit kau ucapkan
selalu ada pembenaran atas hal
yang engkau lakukan
bayangkan rasakan
bila semua berbalik kepadamu
bayangkan rasakan
bila kelak kau yang jadi diriku
bayangkan diriku rasakan diriku
bila semua berbalik kepadamu
bayangkan dan rasakan
bila kelak nanti kau yang jadi diriku
bayangkan rasakan
bila semua berbalik kepadamu
bayangkan rasakan
bila kelak kau yang jadi diriku
hadirmu hanya sekilas di hidupku
namum meninggalkan luka
tak terhapus oleh waktu (Maudy Ayunda-Bayangkan Rasakan).
**
Seharusnya ini waktu silentium. Sayangnya, pemuda satu itu justru mengancam keheningan dalam biara dengan memainkan piano.
Usai completorium atau ibadat penutup, pikirannya kembali resah. Resah yang berpadu dengan sedih. Mengapa anak cantik itu tidak mencari soulmate yang lain saja? Mengapa jiwa anak itu harus terpaut dengan jiwanya?
Pemuda tampan itu mengingat awal perkenalan mereka. Ia tahu, gadis itu awalnya tertarik karena namanya. Namanya sama seperti nama kepingan masa lalunya. Albert Fast dan Albert Arif telah memasuki kehidupan si gadis. Gadis itu banyak bercerita tentang sosok Albert Fast. Sebaliknya, ia banyak bercerita tentang kehidupan membiara dan relasi dengan Tuhan. Sampai akhirnya, gadis itu tahu satu hal dan bertekad membantunya.
Ketika gadis itu pernah dizhalimi mantan kaum berjubah, ia mengerti. Memahami bagaimana sakitnya. Rupanya ia juga memiliki rasa yang sama. Ia tak ingin gadis itu disakiti siapa-siapa lagi.
Meski rasa itu tumbuh di dua hati yang sama, mereka tak bisa bersatu. Kaul kemurnian yang menghalangi. Ia sudah punya janji dengan Tuhan untuk melayani-Nya seumur hidup. Ia sudah berjanji untuk tidak menduakan Tuhan dengan yang lainnya.
Bukan hanya itu...
“Ya Tuhan, sakit sekali...”
Pemuda itu merintih. Pancaran kesakitan terlihat di sepasang mata teduhnya. Darah segar mengalir dari hidungnya. Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) menjadi penyebab utama. Ironisnya, kemoterapi tak bisa dijalani karena ia hanya memiliki satu ginjal. Terlalu berisiko.
Dari cermin yang tergantung di samping grand piano, ia menatapi refleksi dirinya. Tubuhnya tak lagi segar seperti dulu. Kanker darah telah merampas kesehatan dan daya hidupnya. Meski demikian, kanker itu tidak akan menghapus ketampanannya.
Bagaimana ia bisa membawa gadis itu hidup bersamanya dalam situasi begini? Dirinya telah terikat janji. Belum lagi kondisi kesehatannya yang terus menurun dari waktu ke waktu. Mustahil mereka bersama.
Ia kembali memfokuskan diri pada tuts-tuts piano. Mengutarakan kegundahan hatinya dalam untaian lirik lagu. Akankah gadis itu tahu?
Awalnya ku tak bermaksud apapun
Saat ku kenal dirimu
Kita hanya saling bercerita tentang
Ku dengannya kau dengan dia
Mengapa Tuhan pertemukan
Kita yang tak mungkin menyatu
Aku yang tlah terikat janji
Engkau pun begitu
Ku coba lawan aturan yang ada
Tuk terus bersamamu
Semakin ku tenggelam dalam keadaan
Semakin ku menginginkanmu lebih
Mengapa Tuhan pertemukan
Kita yang tak mungkin menyatu
Aku yang tlah terikat janji
Engkau pun begitu
Mengapa Tuhan pertemukan
Kita yang tak mungkin menyatu
Aku yang tlah terikat janji
Engkau pun begitu
Ku tahu kau bukan untukku
Mustahil ku hidup denganmu
Satu hal yang harus kau tahu
Ku mencintaimu (Afgan-Ku Dengannya Kau Dengan Dia).