Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Telah Terikat Janji

14 Januari 2017   07:28 Diperbarui: 14 Januari 2017   08:10 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

3,61. Tiga angka itu ditatapnya lekat. Indeks prestasinya semester ini. Cum laude. Seperti semester sebelumnya. Bahkan IP-nya jauh lebih besar.

Sepercik rasa syukur bercampur heran. Syukur karena prestasi akademiknya cukup memuaskan. Heran lantaran ia tak pernah hadir secara full di kelas, namun mendapat nilai bagus. Waktunya terbagi antara kegiatan akademik dan non akademik.

“Tiga koma enam satu? Alhamdulillah...”

Mama tersenyum puas. Mengelus rambutnya. “Semester depan ditingkatkan ya?”

Ia hanya mengangguk. Sejurus kemudian meraih handphone. Bercerita pada orang-orang yang menurutnya bisa ia percaya. Monsieur Aran bersyukur dan mendoakannya. Anton bangga padanya. Keren, itulah tanggapan Rinie dan Boris. Mr. Johanis senang dan mengharapkannya meningkatkan prestasi.  Proficiat, ungkapan senada yang dilontarkan Pater Gordi dan Mr. Pebrianov. Renna dan sahabat-sahabatnya menyampaikan hal yang sama.

Lalu, bagaimana dengan yang berjubah dan yang telah melepas jubah? Ia pun berbagi kebahagiaan dengan mereka.

**     

“Minggu depan kamu ikut ya? Mama sama Papamu harus mengurus perpanjangan SIM A.” pinta sang Mama.

“Okey. Berarti nanti aku bisa ke rumah Della dan ketemu keluarga besar?”

“Bisa, Non.”

Saat itu mereka berada di food court sebuah mall. Bersantai sejenak setelah mengunjungi klinik kecantikan langganan mereka. Soal jalan-jalan dan makan di luar, ibu dan anak satu ini memang kompak.

“Nanti kita ke makam Eyang juga kan?”

“Iya. Kamu pasti kangen Eyang...”

Gadis itu memainkan kalungnya. Ya, ia rindu Eyang Putri. Mengingat banyak kenangan indah bersama almarhumah sejak kecil hingga beranjak dewasa.

“Mama belum sempat bilang Eyang Putri sejak resign dari kantor.” Mamanya kembali berkata.

Setelah meminum green tea-nya, gadis itu berujar. “Ma, aku jadi ingat cerita Uti Yulia. Betapa dekatnya Mama dengan Eyang. Mama selalu bisa diandalkan. Tiap kali ada acara keluarga atau ada tamu, Eyang mempercayakan semuanya pada Mama. Kata Eyang, Mama paling rajin dan setia di antara putra-putri Eyang lainnya.”

Mama tersenyum. Kali ini membelai tangan kanan putrinya yang tinggal semata wayang. “Oh ya?”

“Iya...”

Sesaat hening. Mama menatap sedih silky pudding-nya.

“Sekarang kita nggak bisa berkumpul lagi di rumah itu. Bahkan mengadakan acara peringatan 100 hari dan ulang tahun kematian nanti, tidak bisa di sana lagi. Dionesia dan Gabriel berbeda keyakinan dengan kita semua, selain itu mereka tidak mampu. Mustahil kita meminta mereka membuat acara tahlilan Eyang di sana.”

Lagi-lagi Mamanya menyinggung soal agama. Entah, hatinya menolak itu. Mengapa soal agama harus disebut? Namun kenyataannya memang mustahil meminta Nyonya Dionesia dan Tuan Gabriel mengadakan tahlilan di rumah itu. Sejak rapat keluarga besar, Nyonya Dionesia dan Tuan Gabriel dijauhi keluarga. Mereka disalahkan dan dianggap hanya menjadi beban. Hanya bisa merebut hak milik orang lain. Nyonya Yulia yang paling kuat rasa tidak sukanya.

“Ah, Mama jadi ingat. Bagaimana kabar pemuda itu? Si pemilik cangkir cantik itu?” tanya Mama ringan.

Mata birunya melebar. Andai saja Mama menanyakan hal lain, mungkin ia lebih siap. Mengapa harus bertanya tentang pemuda itu sekarang? Beberapa waktu berlalu tanpa kabar dari pemuda itu, bisik hati kecilnya. Tak ia katakan itu semua pada Mamanya. Mamanya hanya tahu segalanya baik-baik saja. Lama-kelamaan, ia menyadari jika sang Mama care pada pemudanya. Ia sendiri tak keberatan bila harus membagi kasih sayang Mamanya dengan pemuda itu. Bukankah sudah sering terjadi? Mamanya adalah Mama untuk sahabat-sahabat dan orang-orang terdekatnya?

**    

We'll try not to show that ad again

Ad closed by

i got a condo in manhattan

baby girl, what’s hatnin’?

you and your *ss invited

so gon’ and get to clappin’

so pop it for a pimp

pop it for me

turn around and drop it for a pimp

drop, drop it for me

i’ll rent a beach house in miami

wake up with no jammies

lobster tail for dinner

julio serve that scampi

you got it if you want it

got, got it if you want it

said you got it if you want it

take my wallet if you want it now

jump in the cadillac, girl, let’s put some miles on it

anything you want, just to put a smile on it

you deserve it baby, you deserve it all

and i’m gonna give it to you

girl, you be shining so bright

strawberry champagne all night

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

s*x by the fire at night

silk sheets and diamonds all white

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

i’m talkin’ trips to puerto rico

say the word and we go

you can be my freaka

girl, i’ll be on fleek, mami cita

i will never make a promise that i can’t keep

i promise that you’ll smile and gon’ never leave

shopping sprees in paris

everything 24 karat

take a look in that mirror

now tell me who’s the fairest

is it you? is it me?

say it’s us and i’ll agree, baby

jump in the cadillac, girl, let’s put some miles on it

anything you want, just to put a smile on it

you deserve it baby, you deserve it all

and i’m gonna give it to you

girl, you be shining so bright

strawberry champagne all night

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

s*x by the fire at night

silk sheets and diamonds all white

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

if you say you want a good time

well here i am baby, here i am baby

talk to me, talk to me, talk to me

say what’s on your mind

if you want it, girl come and get it

all this is here for you

tell me baby, tell me, tell me baby

what you tryna do

girl, you be shining so bright

strawberry champagne all night

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

s*x by the fire at night

silk sheets and diamonds all white

lucky for you, that’s what i like, that’s what i like

lucky for you, that’s what i like, that’s what I like (Bruno Mars-That’s What I Like).

Gadis itu mempercepat langkahnya. Ia hampir terlambat. Suara barithon yang tengah bernyanyi di ruangan tak lain Ikbal. Siapa lagi?

Di pintu cafe, ia nyaris bertabrakan dengan Rafly. Rafly tersenyum lebar, lalu melontarkan sapaan khasnya.

“Hai Teteh Bule Jadi-Jadian...”

Ingin rasanya gadis itu tertawa. Dalam keadaan begini, Rafly masih sempat bercanda.

“Hai Fanboy...” balasnya.

Julukan-julukan ini memang wajar. Rafly menyematkan panggilan demikian karena melihat mata dan wajahnya. Sedangkan si gadis menyebut Rafly Fanboy karena kesukaan pemuda itu pada semua hal yang berhubungan dengan K-Pop.

“Guys, nih si Teteh Bule Jadi-Jadian baru dateng!” Rafly berseru riang. Sukses mengalihkan perhatian teman-temannya.

Ikbal selesai bernyanyi. Bergegas turun dari panggung kecil di tengah ruangan, kemudian menyambut gadis dengan cocktail dress putih itu.

“Hei, akhirnya kamu datang. Sini duduk,” ajak Ikbal disertai senyum simpatiknya.

“Iya. Happy birthday, Ikbal. Semoga selalu sehat dan sukses. Jangan lupa bahagia ya.”

Ikbal tersenyum. Mengantar gadis itu ke kursi. “Makasih ya. Doa yang sama buat kamu.”

“Kadonya mana nih?” canda Tiwi.

“Masa dateng aja, nggak kasih kado?” timpal Nico, Andini, dan Albert Fast.

“Ooooh...sorry sorry. Aku nggak sempat siapin kado buat kamu. Sorry Ikbal...”

“Kalo buat Ikbal no, kalo buat Albert Arif yes. Iya kan?” goda Renna.

Rona merah merayapi pipi gadis itu. Sementara teman-temannya tertawa.

“Kok kalian tahu sih?” tanyanya keheranan.

“Tahu dong. Kita kan punya paranormal di sini. Kado Natal itu jadi buktinya,” Chika dan Nico otomatis menunjuk Renna.

Tiwi meletakkan gelas vanilla latte-nya. “Paranormal atau mata-mata?”

“Paranormal. Paranormal yang melihat dengan mata batin. Itulah Renna. Makanya aku cinta sama dia,” sergah Rafly.

Semua anak menahan nafas. Cinta, kembali diangkat ke permukaan. Cinta yang sesungguhnya terlarang. Mereka tidak boleh saling mencintai, berelasi, apa lagi menikah jika masih ingin menjadi anggota keluarga besar organisasi itu. Mereka telah terikat janji.

“Sssttt...hati-hati lho. Nanti kalo tiba-tiba ada Kang Erwin, Teh Ayumi, Kang Rangga, atau Teh Zakiya gimana? Jangan-jangan, di sini ada CCTV-nya.”

Melihat Tiwi begitu ketakutan, Ikbal membelai lengannya. Menenangkan gadis itu.

“Tenang, Honey. Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa.”

“What? Honey?”

Tiba-tiba Chika bangkit berdiri. Berputar anggun di depan mereka, berpose, lalu memasang ekspresi sedih. Dengan suara soprannya, ia menyanyikan potongan lirik lagu yang mewakili perasaan mereka semua.

“Andai saja ada jalan untuk kita bersatu...namun biarlah ini menjadi kenangan manis engkau dan aku. Mungkin Tuhan ingin kita bersama, tapi tidak dengan sekitar kita. Mungkin lebih baik, mungkin lebih baik sayang, mungkin lebih baik sayang. Ku menghilang...ku menghilang.”

Mereka terpana menyaksikan Chika mengekspresikan isi hatinya. Isi hati mereka semua.

Andini menggenggam tangan Albert Fast. Tiwi dan Ikbal menundukkan wajah. Renna dan Rafly tanpa sadar berangkulan. Nico memandang sendu wajah Chika. Sedangkan si gadis bermata biru dan bergaun putih mempererat pegangannya pada gelas kaca. Hati mereka serapuh gelas kaca itu. Hati mereka rapuh lantaran cinta terlarang. Cinta yang tak mungkin bersatu kecuali Tuhan berkata lain. Sama terlarangnya seperti cinta Romeo dari Keluarga Montague dan Juliet dari Keluarga Capulet.

Beberapa orang menganggap mereka masih kecil. Faktanya, mereka sudah mengerti arti cinta. Mereka mencintai satu orang, dan tetap setia mencintainya meski tak mungkin untuk memiliki. Sekali pun kelak mereka akan berjodoh dengan orang lain, hati dan cinta mereka tetap untuk satu orang yang mustahil untuk dimiliki. Satu hati untuk satu cinta. Itulah prinsip mereka.

“Sudah, sudah. Kita ke sini buat rayain ultahnya Kang Ikbal. Jangan rusak kebahagiaan yang ulang tahun ya?” Albert Fast menengahi.

“Betul. Lupakan dulu soal asmara, itu bisa nanti. Iya kan, Teteh Bule Jadi-Jadian? Bule beneran kan tinggi, masa yang ini Cuma matanya aja yang mirip. Tuh kayak mereka...” Rafly berkata mencairkan suasana. Menunjuk Albert Fast, Renna, dan Chika.

“Itu baru yang asli ya? Bukan KW?”

Mereka kembali tertawa. Kebekuan berganti kehangatan. Atmosfer sedih bertransformasi menjadi bahagia.

Sadar atau tidak, momen ini menguatkan hati mereka. Hati mereka rapuh dan butuh penguatan. Di sinilah mereka saling menguatkan. Cinta membuat mereka rapuh. Cinta pulalah yang membuat mereka kembali kuat.

**    

Tengah malam, gadis itu kembali sendirian di kamarnya. Berteman kesunyian dan boneka cantiknya. Hanya kepada Allah Azza Wa Jala ia mengadu. Mencurahkan segala perih di hatinya.

Perih ini membuat hatinya rapuh. Sakit ini menggerogoti jiwanya. Tak sadarkah pemuda di dalam tembok biara itu jika ada perbuatannya yang telah melukai hati?

Mungkin ia bukan bagian penting. Pastilah ia tidak ada apa-apanya dibandingkan biara dan komunitas religius itu. Ia hanya orang luar yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan membiara lelaki itu. Bisa saja ia disebut gadis pengganggu, penggoda calon Imam, atau apa pun sebutan negatif lainnya.

Dirapatkannya selimutnya, didekapnya bonekanya makin erat. Pemuda itu pernah mengatakan untuk tidak bergantung kepadanya. Bahwa ia tak bisa membuang waktu untuk hal lain kecuali tugas kampus dan kehidupan berkomunitas. Sementara gadis itu? Mencoba memposisikan hidupnya secara seimbang. Kegiatan akademik dan non akademik berjalan selaras. Aktivitas sekuler diseimbangkan dengan aktivitas rohani. Tapi ternyata, pemuda dalam biara itu punya pandangan lain. Baginya, semua hal kecuali studi filsafat teologi dan hidup rohani bukanlah hal penting. Bukanlah hal yang pantas diperhatikan, cukup diabaikan saja.

Ayat ke-13 Surah Al Hujurat dan ayat ke-11 Ar-Ra’d adalah penghiburannya. Ia senang membaca kedua ayat itu. Mendalami artinya. Menghibur hatinya dengan dua firman Allah yang begitu indah.

Perlahan ia beranjak. Melepas selimutnya, meletakkan boneka dan Al-Qur’an. Berjalan meninggalkan kamar. Berhenti tepat di depan piano hitamnya.

Batinnya yang terluka mengarahkannya untuk menyanyi dan memainkan piano. Memejamkan mata, lalu memulai lagu. Ia membayangkan bagaimana rasanya bertukar posisi dengan Albert Arif. Bagaimana jika pemuda di dalam biara itu merasakan apa yang dia rasakan? Apakah dia masih sampai hati melukai perasaan gadis yang tulus padanya? Gadis yang mulai terbiasa atas sikapnya meski hatinya terasa sakit? Bagaimana jika situasi yang dihadapi gadis ini berbalik kepadanya? Tidakkah ia akan lebih sakit, hampa, dan terluka?

hadirmu hanya sekilas dihidupku

namun meninggalkan luka

tak terhapus oleh waktu

tertawa hanya tuk tenangkan jiwa

namun yang kurasa hampa

semua hilang tak tersisa

bayangkan rasakan

bila semua berbalik kepadamu

bayangkan rasakan

bila kelak kau yang jadi diriku

terdiam ditengah heningnya malam

mencoba tuk memaafkan

dan melupakan kesedihan

maaf sangat sulit kau ucapkan

selalu ada pembenaran atas hal

yang engkau lakukan

bayangkan rasakan

bila semua berbalik kepadamu

bayangkan rasakan

bila kelak kau yang jadi diriku

bayangkan diriku rasakan diriku

bila semua berbalik kepadamu

bayangkan dan rasakan

bila kelak nanti kau yang jadi diriku

bayangkan rasakan

bila semua berbalik kepadamu

bayangkan rasakan

bila kelak kau yang jadi diriku

hadirmu hanya sekilas di hidupku

namum meninggalkan luka

tak terhapus oleh waktu (Maudy Ayunda-Bayangkan Rasakan).

**    

Seharusnya ini waktu silentium. Sayangnya, pemuda satu itu justru mengancam keheningan dalam biara dengan memainkan piano.

Usai completorium atau ibadat penutup, pikirannya kembali resah. Resah yang berpadu dengan sedih. Mengapa anak cantik itu tidak mencari soulmate yang lain saja? Mengapa jiwa anak itu harus terpaut dengan jiwanya?

Pemuda tampan itu mengingat awal perkenalan mereka. Ia tahu, gadis itu awalnya tertarik karena namanya. Namanya sama seperti nama kepingan masa lalunya. Albert Fast dan Albert Arif telah memasuki kehidupan si gadis. Gadis itu banyak bercerita tentang sosok Albert Fast. Sebaliknya, ia banyak bercerita tentang kehidupan membiara dan relasi dengan Tuhan. Sampai akhirnya, gadis itu tahu satu hal dan bertekad membantunya.

Ketika gadis itu pernah dizhalimi mantan kaum berjubah, ia mengerti. Memahami bagaimana sakitnya. Rupanya ia juga memiliki rasa yang sama. Ia tak ingin gadis itu disakiti siapa-siapa lagi.

Meski rasa itu tumbuh di dua hati yang sama, mereka tak bisa bersatu. Kaul kemurnian yang menghalangi. Ia sudah punya janji dengan Tuhan untuk melayani-Nya seumur hidup. Ia sudah berjanji untuk tidak menduakan Tuhan dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu...

“Ya Tuhan, sakit sekali...”

Pemuda itu merintih. Pancaran kesakitan terlihat di sepasang mata teduhnya. Darah segar mengalir dari hidungnya. Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) menjadi penyebab utama. Ironisnya, kemoterapi tak bisa dijalani karena ia hanya memiliki satu ginjal. Terlalu berisiko.

Dari cermin yang tergantung di samping grand piano, ia menatapi refleksi dirinya. Tubuhnya tak lagi segar seperti dulu. Kanker darah telah merampas kesehatan dan daya hidupnya. Meski demikian, kanker itu tidak akan menghapus ketampanannya.

Bagaimana ia bisa membawa gadis itu hidup bersamanya dalam situasi begini? Dirinya telah terikat janji. Belum lagi kondisi kesehatannya yang terus menurun dari waktu ke waktu. Mustahil mereka bersama.

Ia kembali memfokuskan diri pada tuts-tuts piano. Mengutarakan kegundahan hatinya dalam untaian lirik lagu. Akankah gadis itu tahu?

Awalnya ku tak bermaksud apapun

Saat ku kenal dirimu

Kita hanya saling bercerita tentang

Ku dengannya kau dengan dia

Mengapa Tuhan pertemukan

Kita yang tak mungkin menyatu

Aku yang tlah terikat janji

Engkau pun begitu

Ku coba lawan aturan yang ada

Tuk terus bersamamu

Semakin ku tenggelam dalam keadaan

Semakin ku menginginkanmu lebih

Mengapa Tuhan pertemukan

Kita yang tak mungkin menyatu

Aku yang tlah terikat janji

Engkau pun begitu

Mengapa Tuhan pertemukan

Kita yang tak mungkin menyatu

Aku yang tlah terikat janji

Engkau pun begitu

Ku tahu kau bukan untukku

Mustahil ku hidup denganmu

Satu hal yang harus kau tahu

Ku mencintaimu (Afgan-Ku Dengannya Kau Dengan Dia).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun