**
Ratusan kilometer dari Kota Bandung yang gemah ripah itu, di sebuah kampung kecil di ujung kota apel itu, fragmen pagi tercipta. Hanya saja, keadaannya amat kontras.
“Sudah! Bapak tidak ada waktu! Kamu berangkat sendiri saja!” hardik seorang pria bertubuh kurus. Wajahnya menampakkan amarah.
“Tapi aku ingin sesekali diantar ke sekolah, Pak. Si Prasetyo tiap hari diantar bapaknya naik sepeda.” Anak lelaki itu terus memohon. Sebenarnya ia cukup tampan. Namun sangat disayangkan, ia jarang sekali tersenyum. Wajahnya beku tanpa ekspresi. Lebih sering wajah itu dihiasi kesedihan.
“Kamu kan tahu! Bapak harus kerja! Kamu mau makan dari mana kalau Bapak tidak kerja di tempat itu?! Sudah, Bapak pergi dulu! Sebelum berangkat sekolah, cuci piring-piringnya!”
Sejurus kemudian, pria itu meninggalkan anak lelakinya. Membanting pintu. Si anak laki-laki menunduk, kecewa dan sedih.
Albert Arif nama anak lelaki itu. Albert dari kata Albertus, nama Baptis pemberian Romo. Sosok anak laki-laki yang introvert, namun baik hati dan rajin pergi ke gereja. Hidup tanpa ibu menjadi pukulan berat baginya. Biar bagaimana pun, ibu adalah cinta pertama nak laki-laki. Di saat anak lain bermanja-manja dengan ibunya, ia tak pernah merasakan itu. Tiap kali ke gereja dan saat Misa, ia selalu berdoa agar ibunya kembali.
Selesai mengerjakan tugas-tugas rumah yang dilimpahkan bapaknya, ia bergegas pergi. Tak ingin terlambat ke sekolah. Langkahnya dipercepat. Ia harus segera sampai.
Dan karena dirimu
Kunanti ku mencari
Berharap kau mengembalikan hatiku