“Kamu sudah terima kadoku?” tanya Maurin penasaran.
“Sudah, aku suka kadonya. Isinya...wow, cangkir yang cantik. Terima kasih ya. Seharusnya kamu tak usah melakukan itu. Soalnya aku tidak memberimu kado waktu itu.”
“Sudahlah, tak masalah. Aku mengerti kondisimu yang tidak bisa memberiku kado waktu itu.”
Banyak yang berubah. Banyak yang terjadi sejak mereka dekat. Kini hidup Albert Arif kembali berhias pelangi. Ada warna-warna baru yang ditambahkan si gadis bermata biru dalam setiap harinya. Kini, ia tak perlu lagi menyembunyikan rasa sakitnya sendirian. Ada gadis itu yang memberikan dirinya sebagai miliknya.
“Aku sibuk sekali bertugas di Gereja Katedral dan membuat kandang Natal di Seminari,” ungkapnya tanpa ragu.
Maurin tersenyum. Sesekali menggigit bibirnya. Bersusah payah menutupi raut kecewanya. Begitulah pria. Di saat sibuk, selalu saja melupakan wanita yang benar-benar peduli padanya. Baru sekarang ia kembali. Apakah wanita tidak penting dalam hidupnya? No woman no cry? Abraham Maslow pernah mengatakan, cinta adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan akan cinta terpisah dari kebutuhan seksual dan fisiologis. Mungkin saja sosok sedingin Albert Arif tak butuh cinta. Sampai-sampai ia melupakan wanitanya dan mengabaikan wanitanya dalam waktu lama. Bukan hanya itu, ia pun tidak mengerti perasaan wanitanya. Terus terang ia merindukan Albert Arif yang dulu. Ia rindu panggilan khusus itu, rindu caranya memperlakukan dirinya, dan banyak lagi. Apakah karena ia pernah hidup tanpa ibu? Mungkin saja.
“Kamu tidak telepon keluargamu?” tanya Maurin perlahan.
“Nanti...mereka mungkin akan bertanya. Kenapa telepon? Sudah tidak betah di biara?” balas Albert Arif datar.
“Jangan begitu, Albert. Mereka pasti merindukanmu. Bagaimana kabar ayahmu? Dan sepupu-sepupumu?”
“Aku tidak tahu.”
“Nah itu...perkembangan keluargamu saja kamu tidak tahu. Astaga...hidup sebagai calon imam membuatmu jauh dari keluarga. Tidakkah kamu kasihan pada mereka? Tidakkah kamu peduli pada mereka? Buka mata hatimu. Jangan idealis. Jangan hanya terpaku pada spiritualitas, karena tidak semua hal di dunia ini bisa diselesaikan dengan spiritualitas. Hidup harus seimbang.”