Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ikatan Batin: Kuatkah?

8 Desember 2016   05:13 Diperbarui: 8 Desember 2016   06:39 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ikatan Batin, Kuatkah?

Syahdu wangi

Bumi Siliwangi

Utara Bandung Raya

Nampak jelas bercemerlang...

Denting lembut piano mengakhiri penampilan anggota paduan suara. Hymne universitas tengah dibawakan. Berdiri dalam formasi rapat dan sikap sempurna, mereka bernyanyi penuh penghayatan. Suara alto, sopran, tenor, dan bass berpadu membawakan lagu itu. Tak ada yang egois, tak ada yang ingin lebih dominan. Semua bernyanyi bersama dengan kekuatan yang sama, dengan semangat yang sama.

Applause meriah mengakhiri perform mereka. Satu per satu anggota paduan suara turun dari panggung. Berpelukan, ber-toast, lalu menyerukan jargon kebanggaan mereka. Malam itu langit cerah bertabur bintang. Representatif dengan suasana hati mereka.

“Yes! Yes!” seru si kembar Stevani dan Stevani.

“Kita tampil keren!” Maurin tak kalah excited.

“Ke sekre yuk. Kita rayain,” ajak Yudha.

“Iyalah guys...dari pada Malam Minggunya kesepian gara-gara jomblo, kita semua di sini kan pada jomblo.”

Ucapan sang Ketua PSM ditingkahi seruan dari para anggotanya. Kenyataannya memang demikian. Rata-rata anak yang sibuk berorganisasi itu memiliki kisah cinta yang kurang mulus. Mereka dipersatukan lewat organisasi itu, lantaran kesamaan hobi, nasib dalam soal asmara, dan visi.

**    

“Lebih baik bangun cinta, dari pada jatuh cinta...jatuh itu sakit bangun itu semangat. Lebih baik bangun cinta dari pada jatuh cinta. Meski tak mudah...namun cinta jadi punya tujuan.”

Di sekre PSM, anak-anak itu lebih ekspresif lagi. Segala sikap sempurna dan memesona mereka di atas panggung berganti dengan pelampiasan perasaan. Di bawah iringan piano yang dimainkan Yudha, mereka bernyanyi. Menumpahkan rasa yang tersisa dalam dada lewat untaian lirik lagu.

“Mudah-mudahan event berikutnya Hari Sabtu,” kata Stevani penuh harap.

“Kenapa?” tanya Yudha, alisnya terangkat.

“Biar malamnya kita bisa kayak gini. Main bareng, nyanyi bareng, dan Malam Minggunya jadi nggak kesepian.” Sahut Stevani.

“Setuju setuju!”

Tak puas hanya bermain piano, mereka lanjutkan dengan menonton film. Film horor menjadi pilihan. Bukannya takut, mereka justru tertawa dan mengomentari hal-hal yang menurut mereka lucu.

“Ya ampun, itu rumah apa Gua Jepang ya?”

“Gua Belanda kali...”

Film yang mereka saksikan sama sekali tak membuat mereka ketakutan. Pertama, karena mereka sudah menontonnya beberapa kali. Efek seramnya tak lagi terasa. Kedua, mereka lebih tertarik melihat hal lucu atau janggal di dalamnya dari pada melihat hantunya.

Di dekat teman-temannya, Maurin merasa bahagia. Semua problemnya bisa terangkat sejenak. Hal ini ia curahkan pada pembimbing spiritual, pakar cinta, pembimbing hypnotherapy, sekaligus praktisi kesehatan yang telah banyak mengajarinya tentang ilmu medis dan psikologi. Ia utarakan kebahagiaan dan kerinduannya pada paduan suara. Sekali pun ia tidak bisa menceritakan semua masalahnya, namun kehadiran mereka sudah cukup membantu.

**    

Selesai melewatkan waktu dengan PSM, kali ini Maurin quality time dengan Mama tercintanya. Makan malam di sebuah restoran di bagian timur Bandung dengan menu favorit mereka. Papa tidak ikut, mereka hanya pergi berdua.

“Papamu kan paling susah diajak bepergian,” kata Mamanya ketika Maurin mempertanyakan mengapa Papa jarang sekali pergi bersama mereka.

“Hmm...gitu ya. Mama bahagia menikah sama Papa? Dengan perbedaan umur yang jauh dan perbedaan lainnya?” selidik Maurin.

“Ya, Mama bahagia. Papamu itu jodohnya Mama. Tidak masalah kok dengan perbedaan usia. Justru lebih baik menikah dengan pria yang umurnya jauh lebih dewasa.” Jelas Mama ringan.

Gadis itu hanya terdiam. Pelan memainkan syal di lehernya. Tak sadar jika Mama telah memotretnya dan mengirim foto itu ke grup keluarga. Keluarga besar memang memiliki grup. Gunanya agar bisa saling berkomunikasi setiap waktu meski dipisahkan jarak dan waktu.

“Aku ingin suatu saat nanti cucu-cucunya Eyang Putri berkumpul semua, lalu foto studio.” Maurin mengutarakan keinginannya.

“Semuanya?”

“Iya...termasuk anak angkatnya Pakde juga, Arif. Ooooh...aku ingin sekali bertemu Arif. Tahun depan dia masuk TK, ya? Ma, kenapa Pakde dan Bude tidak pernah membawa Arif saat kumpul keluarga?”

Saat menyebut nama Arif, ada desiran halus menjajah relung hatinya. Hati kecilnya membisikkan sebuah nama: Arif Albert. Pemuda amat tampan yang telah merebut hatinya. Dan kini, ia punya sepupu baru yang bernama Arif.

“Mungkin Pakde dan Budemu yang belum siap, atau Arif yang belum siap bertemu keluarga baru.” Mama berpendapat.

“Lho, kenapa? Nggak apa-apa kan? Arif juga bagian dari keluarga kita, cucunya Eyang Putri yang ke-13 setelah Chelsea. Aku pengen ketemu...aku beliin hadiah buat dia.”

Mamanya hanya tersenyum. Beliau tahu, putrinya ini pasti akan memanjakan Arif melebihi sepupu-sepupunya yang lain. Kabar terakhir, Arif sedang sakit. Seketika ia teringat e-mail yang dikirimkannya pada Arif Albert. Ya, wanita kelahiran September 51 tahun lalu itu mengirimi pemuda pujaan hati putrinya sebuah e-mail. Maurin tahu itu. Sudahkah Arif Albert berbicara dengan putrinya?

**    

Minggu pagi tiba, cerah dan indah. Langit biru bersih tanpa awan. Cuaca yang baik. Tidak ada kelamnya awan Cumolonimbus, hujan deras, dan kilatan petir seperti beberapa waktu sebelumnya.

Entah terdorong oleh apa, Maurin mengosongkan semua kegiatannya hari itu. Ia tidak ingin pergi kemana-mana. Praktis ia melewatkan waktu dengan membaca buku dan mendengarkan musik. Menghalau kesunyian yang menyelimuti seisi rumahnya. Mama dan Papa ada di halaman. Sibuk mengurusi tanaman-tanaman kesayangan mereka. Suasana di dalam rumah sunyi.

Namun rupanya takdir menyapa Maurin dengan hangat pagi ini. Ia tak lagi sendirian. Sebuah pesan pendek masuk di ponselnya.

“Selamat pagi...”

Maurin hafal betul siapa pengirim pesan itu. Desiran di hatinya kembali terasa. Tanpa membuang waktu, segera ia menelepon si pengirim pesan.

“Good morning, Albert.” Sapanya.

“Morning,” balas suara barithon di seberang sana, hangat.

Sudah lama sekali ia tak mendengar suara lembut itu menyapanya. Rasa rindunya terobati. Ternyata ia dan Albert memiliki ikatan batin yang kuat. Dirinya seolah tertahan untuk tidak mengagendakan acara apa pun hari ini. Tak diduga, orang yang dirindukannya selama berminggu-minggu terakhir itu mengontaknya.

“Albert, kamu baik-baik saja?” Maurin tak tahan untuk melontarkan pertanyaan itu.

“Ya, aku baik-baik saja.”

“Kamu harus jelaskan. Dengan siapa kamu makan malam di tempat kenangan kita dua hari lalu?”

“Dengan perempuan...”

“Nah kan, benar dugaanku! Harusnya kamu menolak! Harusnya kamu selektif!”

“...Dan laki-laki. Aku ke cafe itu dengan beberapa orang, Maurin.”

Mendengar itu, kehangatan merayapi hati Maurin. Apa yang ditakutkannya tidak benar.

“Oh okey. Dan...kenapa waktu itu kamu menulis dengan menyebut nama perempuan lain?” Maurin bertanya lagi. “Itu fiktif. Sama sekali bukan...”

“Aku tidak suka kamu menulis tentang perempuan. Menyebutnya cantik lagi.”

“Aku tidak suka dilarang.”

Refleks gadis itu mengerutkan kening. Diam-diam membayangkan ekspresi Albert saat mengucapkannya.

“Kamu ikut-ikutan aku ya? Aku kan pernah bilang gitu. Kenapa kamu jadi keras kepala? Siapa yang ngajarin?” celotehnya.

“Kamu,” jawab Albert yakin.

Keduanya tertawa. Kebekuan pun mencair.

Seperti biasa, Albert menasihatinya beberapa hal. Melarangnya melakukan sesuatu. Maurin luluh, ia menuruti apa kata pemuda penyabar itu. Sebaliknya, Maurin menanyakan kondisi Albert dan mengingatkan beberapa hal tentang psikologi dan keluarga. Lagi-lagi ia mengingatkan pemudanya untuk hidup seimbang. Ia tak tega membiarkan Albert sendiri. Meski sering kali Albert terlarut dalam dunianya sendiri tanpa memikirkan kesehatan, orang-orang yang dicintainya di luar sana, dan keluarganya. Urusan studi penting, namun keluarga tak kalah penting. Maurin secara implisit meminta Albert untuk tidak melupakan orang-orang yang dicintai dan mencintainya di luar sana.

“Aku tahu kamu sibuk dan punya tanggung jawab, tapi jangan abaikan orang-orang yang tulus menyayangimu dan care sama kamu. Aku yakin, banyak yang menyayangi dan mencintaimu di luar sana. Banyak juga yang care sama kamu. Ada ayah-ibumu, adikmu, dan aku. Kami merindukanmu.” ungkapnya meyakinkan. “Biar bagaimana pun, keluarga adalah tempat segalanya bermula. Tempat pendidikan pertama. Kamu ada, kamu tumbuh dewasa, kamu bisa menjalani pendidikan, itu karena keluarga. Mereka sudah memberi padamu, apa yang kamu berikan untuk mereka? Mereka memang mengharapkan kamu berhasil, tapi tidakkah kamu memikirkan mereka? Terlebih kamu anak pertama. Mereka pasti punya sepercik harapan dan kerinduan padamu. Okey ada cuti dan masa liburan, tapi kapankah? Cukupkah? Siapa yang merawat mereka ketika sakit? Inginkah kamu meninggalkan kedua orang tuamu sendirian sampai hidup mereka berakhir? Adikmu ada, tapi dia kan sudah punya keluarga sendiri. Tak bisa terus-menerus bersama orang tuamu. Muliakanlah dan bahagiakanlah orang tuamu selagi mereka masih hidup. Jangan menyia-nyiakan mereka, jangan menyia-nyiakan kesempatan bersama mereka.”

Terus terang, Maurin iba pada kedua orang tua Albert. Bukankah orang tua sejatinya mengharapkan anak-anak mereka selalu ada? Dengan usia yang tak lagi muda, pastilah ada rasa kesepian dan kerinduan. Meski tak terungkap dalam kata-kata. Meski mereka ikhlas dan ikut bahagia bila anak berhasil, tetap saja rasa rindu tak dapat diingkari.

“Albert, kamu sayang aku kan?” ujar Maurin lembut.

“Iya,”

“Kamu tak ingin aku terluka, kan?”

“Iya...”

Inilah yang disukainya. Sang permata hati tak banyak kata, namun ia tulus dan penuh cinta. Pemuda berhati lembut itu membuktikan cinta dan kasih sayangnya bukan dengan kata, melainkan dengan perbuatan.

“Penuhi permintaanku, okey? Aku hanya ingin kamu melihat dari sudut pandang yang berbeda. Jangan dari satu sudut pandang saja. Buka mata hatimu, Dear.”

“Iya, aku mau.”

Bahagia memenuhi hati Maurin. Ia tahu, Albert sayang padanya. Albert adalah pria pertama yang memeluknya. Pria dengan first impression yang sangat baik. Pria yang bersikap paling baik padanya, yang selalu menghadapinya dengan kata-kata lembut tanpa pernah sekali pun melontarkan hardikan atau kata-kata keras. Pria yang selalu bisa memenuhi permintaannya, mengerti dirinya luar-dalam, memahami kelebihan dan kelemahannya.

“Aku sayang Albert,” ucap Maurin spontan.

“Apa?” Albert balik bertanya, entah sengaja atau tidak.

“Aku sayang Albert.”

Setelah berkata begitu, Maurin menciumi boneka yang dipeluknya. “Albert, panggilan khususnya mana? Kita kan punya panggilan khusus.”

“Iya, Dear.”

Serasa ada yang menggelitik perasaannya. Masya Allah, rindunya terobati. Ia akan tidur lebih nyenyak malam nanti. Ia takkan terganggu lagi oleh Insomnia berat itu. Ia akan lebih kuat dan lebih optimal membantu orang-orang yang berkonsultasi dengannya terkait psikologi dan hypnotherapy.

“Well, kenapa kamu percaya padaku? Kamu kan punya banyak orang-orang terdekat yang menyayangimu di sana. Kenapa harus aku, Dear? Ada Renna, Chika, Nia, keluargamu, dan...laki-laki yang namanya sama denganku itu. Albert Fast.” Albert mulai penasaran.

“Mereka tidak mengerti aku seperti kamu mengerti aku. Kamu yang paling mengerti dan memahamiku. So, aku percaya padamu meski kamu jauh dariku.”

Entah apa yang dipikirkan Albert saat itu. Maurin berharap Albert memikirkan baik-baik apa yang dikatakannya. Ia hanya ingin membuka mata hati Albert. Mengajaknya melihat dari perspektif yang berbeda.

“Kamu sendiri bagaimana? Aku rasa, kamu tidak punya seseorang yang benar-benar dekat denganmu di sana.” Lanjut Maurin.

“Kata siapa? Aku punya,” bantah Albert.

“Coba sebutkan siapa namanya. Kenalkan padaku. Agar aku tahu kamu tidak menghadapi semuanya sendirian.”

Sayangnya, Albert tidak menyebutkan satu nama pun. Hal ini menguatkan keyakinan di hati Maurin jika pemudanya tak punya teman. Teman yang benar-benar dekat dan mengerti dirinya.

“Albert, percayalah. Dua jauh lebih baik dari satu. Masalah akan lebih ringan jika dihadapi bersama, bukan sendirian.” Kesekian kalinya Maurin memberi kata-kata sugestif. Mensugestikan hal positif. Membuka pikiran Albert dengan caranya.

Ia percaya Albert bisa menjaga dirinya sendiri. Namun ada yang rapuh dalam diri pemuda bermata teduh itu. Ia sakit, dan belum sepenuhnya sembuh. Bukankah setiap penyakit harus disembuhkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun