Saat menyebut nama Arif, ada desiran halus menjajah relung hatinya. Hati kecilnya membisikkan sebuah nama: Arif Albert. Pemuda amat tampan yang telah merebut hatinya. Dan kini, ia punya sepupu baru yang bernama Arif.
“Mungkin Pakde dan Budemu yang belum siap, atau Arif yang belum siap bertemu keluarga baru.” Mama berpendapat.
“Lho, kenapa? Nggak apa-apa kan? Arif juga bagian dari keluarga kita, cucunya Eyang Putri yang ke-13 setelah Chelsea. Aku pengen ketemu...aku beliin hadiah buat dia.”
Mamanya hanya tersenyum. Beliau tahu, putrinya ini pasti akan memanjakan Arif melebihi sepupu-sepupunya yang lain. Kabar terakhir, Arif sedang sakit. Seketika ia teringat e-mail yang dikirimkannya pada Arif Albert. Ya, wanita kelahiran September 51 tahun lalu itu mengirimi pemuda pujaan hati putrinya sebuah e-mail. Maurin tahu itu. Sudahkah Arif Albert berbicara dengan putrinya?
**
Minggu pagi tiba, cerah dan indah. Langit biru bersih tanpa awan. Cuaca yang baik. Tidak ada kelamnya awan Cumolonimbus, hujan deras, dan kilatan petir seperti beberapa waktu sebelumnya.
Entah terdorong oleh apa, Maurin mengosongkan semua kegiatannya hari itu. Ia tidak ingin pergi kemana-mana. Praktis ia melewatkan waktu dengan membaca buku dan mendengarkan musik. Menghalau kesunyian yang menyelimuti seisi rumahnya. Mama dan Papa ada di halaman. Sibuk mengurusi tanaman-tanaman kesayangan mereka. Suasana di dalam rumah sunyi.
Namun rupanya takdir menyapa Maurin dengan hangat pagi ini. Ia tak lagi sendirian. Sebuah pesan pendek masuk di ponselnya.
“Selamat pagi...”
Maurin hafal betul siapa pengirim pesan itu. Desiran di hatinya kembali terasa. Tanpa membuang waktu, segera ia menelepon si pengirim pesan.
“Good morning, Albert.” Sapanya.