“Morning,” balas suara barithon di seberang sana, hangat.
Sudah lama sekali ia tak mendengar suara lembut itu menyapanya. Rasa rindunya terobati. Ternyata ia dan Albert memiliki ikatan batin yang kuat. Dirinya seolah tertahan untuk tidak mengagendakan acara apa pun hari ini. Tak diduga, orang yang dirindukannya selama berminggu-minggu terakhir itu mengontaknya.
“Albert, kamu baik-baik saja?” Maurin tak tahan untuk melontarkan pertanyaan itu.
“Ya, aku baik-baik saja.”
“Kamu harus jelaskan. Dengan siapa kamu makan malam di tempat kenangan kita dua hari lalu?”
“Dengan perempuan...”
“Nah kan, benar dugaanku! Harusnya kamu menolak! Harusnya kamu selektif!”
“...Dan laki-laki. Aku ke cafe itu dengan beberapa orang, Maurin.”
Mendengar itu, kehangatan merayapi hati Maurin. Apa yang ditakutkannya tidak benar.
“Oh okey. Dan...kenapa waktu itu kamu menulis dengan menyebut nama perempuan lain?” Maurin bertanya lagi. “Itu fiktif. Sama sekali bukan...”
“Aku tidak suka kamu menulis tentang perempuan. Menyebutnya cantik lagi.”