“Aku tidak suka dilarang.”
Refleks gadis itu mengerutkan kening. Diam-diam membayangkan ekspresi Albert saat mengucapkannya.
“Kamu ikut-ikutan aku ya? Aku kan pernah bilang gitu. Kenapa kamu jadi keras kepala? Siapa yang ngajarin?” celotehnya.
“Kamu,” jawab Albert yakin.
Keduanya tertawa. Kebekuan pun mencair.
Seperti biasa, Albert menasihatinya beberapa hal. Melarangnya melakukan sesuatu. Maurin luluh, ia menuruti apa kata pemuda penyabar itu. Sebaliknya, Maurin menanyakan kondisi Albert dan mengingatkan beberapa hal tentang psikologi dan keluarga. Lagi-lagi ia mengingatkan pemudanya untuk hidup seimbang. Ia tak tega membiarkan Albert sendiri. Meski sering kali Albert terlarut dalam dunianya sendiri tanpa memikirkan kesehatan, orang-orang yang dicintainya di luar sana, dan keluarganya. Urusan studi penting, namun keluarga tak kalah penting. Maurin secara implisit meminta Albert untuk tidak melupakan orang-orang yang dicintai dan mencintainya di luar sana.
“Aku tahu kamu sibuk dan punya tanggung jawab, tapi jangan abaikan orang-orang yang tulus menyayangimu dan care sama kamu. Aku yakin, banyak yang menyayangi dan mencintaimu di luar sana. Banyak juga yang care sama kamu. Ada ayah-ibumu, adikmu, dan aku. Kami merindukanmu.” ungkapnya meyakinkan. “Biar bagaimana pun, keluarga adalah tempat segalanya bermula. Tempat pendidikan pertama. Kamu ada, kamu tumbuh dewasa, kamu bisa menjalani pendidikan, itu karena keluarga. Mereka sudah memberi padamu, apa yang kamu berikan untuk mereka? Mereka memang mengharapkan kamu berhasil, tapi tidakkah kamu memikirkan mereka? Terlebih kamu anak pertama. Mereka pasti punya sepercik harapan dan kerinduan padamu. Okey ada cuti dan masa liburan, tapi kapankah? Cukupkah? Siapa yang merawat mereka ketika sakit? Inginkah kamu meninggalkan kedua orang tuamu sendirian sampai hidup mereka berakhir? Adikmu ada, tapi dia kan sudah punya keluarga sendiri. Tak bisa terus-menerus bersama orang tuamu. Muliakanlah dan bahagiakanlah orang tuamu selagi mereka masih hidup. Jangan menyia-nyiakan mereka, jangan menyia-nyiakan kesempatan bersama mereka.”
Terus terang, Maurin iba pada kedua orang tua Albert. Bukankah orang tua sejatinya mengharapkan anak-anak mereka selalu ada? Dengan usia yang tak lagi muda, pastilah ada rasa kesepian dan kerinduan. Meski tak terungkap dalam kata-kata. Meski mereka ikhlas dan ikut bahagia bila anak berhasil, tetap saja rasa rindu tak dapat diingkari.
“Albert, kamu sayang aku kan?” ujar Maurin lembut.
“Iya,”
“Kamu tak ingin aku terluka, kan?”