“Rumahmu sepi. Kamu hanya tinggal bertiga dengan Mama-Papamu.” Hedy berkomentar.
“Iya, Kak.”
Keduanya tiba di dalam ruangan. Maurin membuka kain pelapis piano. Tanpa sengaja mata Hedy tertumbuk pada sebentuk pigura foto yang tersandar di atas piano. Foto seorang pemuda tampan bermata teduh. Tulisan kecil berwarna biru yang tertera pada pigura itu berbunyi: A. A. Je T’aime.
“Maurin, itukah Albert yang sering kamu ceritakan?” tunjuk Hedy ke arah pigura foto yang dilihatnya.
“Betul, Kak. Itu Albert.” Maurin menyahut pelan.
Hedy menghela nafas berat. Menatap masygul potret wajah Albert. Ia tahu pasti, Maurin sulit jatuh cinta. Sulit pula bagi Maurin untuk menghapus nama Albert dari hatinya. Sama sulitnya dengan menghapus tulisan bertinta biru yang tertera di pigura itu.
Jemari tangan Maurin bergerak perlahan di atas tuts hitam-putih. Memainkan intro. Hedy mengenali intronya. Bersama Maurin, ia ikut bernyanyi.
Dimana dirimu
Ingatkah padaku
Ku selalu di sini
Meniti bayangan