“Jika dia mengerti kamu, dia tidak akan mengecewakanmu. Membuatmu menunggu terlalu lama, menggantungkanmu, apa lagi mendiamkanmu. Pria macam apa itu?” potong Hedy dingin.
Maurin tertunduk dalam. Memainkan pita di gaunnya. “Mungkin dia punya alasan. Mungkin situasi di Seminari Tinggi membuatnya tidak bisa berkomunikasi denganku.”
“Maurin, kamu terlalu baik. Terlalu sering membela Albert. Sudahlah, berikan batas waktu. Kita boleh memikirkan kebahagiaan orang lain, tapi luangkan waktu sejenak untuk memikirkan kebahagiaan diri kita sendiri.” Bujuk Hedy.
“Aku bahagia bersama Albert. Cukup banyak kenangan dan kesan indahku tentang dirinya.”
Azan Maghrib berkumandang. Menyelimuti hati dengan kedamaian. Sejurus kemudian Hedy bangkit berdiri. “Aku mau shalat dulu. Mau berjamaah denganku?”
“Aku sedang tidak shalat, Kak.”
“Okey. Kamu tunggu di sini. Aku segera kembali.”
Hedy melangkah pergi. Baru saja sosoknya menghilang di balik pintu, sebuah buku tebal jatuh dari tasnya yang sedikit terbuka. Maurin membungkuk memungut buku itu. Mengenali huruf-huruf yang tercetak di sampulnya. Alkitab. Rupanya Hedy mengikuti jejak Maurin membaca Alkitab dan mempelajari agama lain. Belajar agama lain bukan untuk mengikuti ajarannya, melainkan untuk memperluas wawasan tentang agama-agama lain di luar Islam. Mempelajari agama lain untuk menghargai perbedaan, meningkatkan toleransi, dan memahami agama lain lebih dalam tanpa berniat menjatuhkan atau mengikuti ajarannya.
Beberapa saat kemudian, Hedy kembali. Ia duduk di sisi Maurin.
“Mama kamu baik sekali. Beliau menawariku makan malam di sini.” Tukasnya.
“Why not? Aku juga senang kok. Oh ya, sejak kapan Kak Hedy mulai baca Alkitab?”