Sejak kecil, Maurin tak terlalu dekat dengan Papanya. Papa adalah pribadi yang dingin, introvert, kurang ekspresif, dan pendiam. Limpahan kasih sayang dan kedekatan emosional lebih intens ia rasakan dan dapatkan dari Mama.
“Kisah cintamu dan Arif mirip dengan Mama dan Papa.” Lanjut Mama, tersenyum simpul.
“Iya...Arif itu mirip Papa.” Balas Maurin apa adanya.
Dering ponsel memutus dialog mereka. Telepon dari Hedy.
“Ya, Kak Hedy?”
“Aku otw ke rumahmu sekarang ya. Kamu sudah di rumah, kan?” sahut suara barithon bernada maskulin di seberang sana. “Sudah, Kak. Aku tunggu. Okey, bye.”
Sudah beberapa kali Hedy berkunjung ke rumah Maurin. Biasanya kaitannya dengan project dan wawancara. Putra Keluarga Tanuwijaya itu melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Komunikasi. Ia cerdas, aktif berorganisasi, dan baik hati. Maurin telah menganggap Hedy sebagai kakaknya sendiri.
**
Hedy meraih kunci mobilnya. Bersiap menuju rumah Maurin. Tak sabar rasanya ia bertemu gadis itu. Baru semalam ia mengatakan via video call di Line jika ia tak sabar ingin bertemu Maurin lagi.
Bunyi bel pintu apartemennya membuat senyumnya sedikit memudar. Tamu? Pada waktu yang kurang tepat? Bukan Hedy namanya jika menolak kehadiran seseorang yang bersusah payah datang ke tempat tinggalnya. Segera ia melangkah ke ruang depan dan membukakan pintu.
“Mas Hedy, tolong anak saya...”