Betapa kagetnya Hedy mendapati sesosok wanita anggun dengan sepatu berhak tinggi dan syal merah melingkar di leher jenjangnya berdiri di depan pintu. Ia familiar dengannya. Wanita itu tak lain ibu dari mahasiswa yang dibantunya. Sebagai anggota Advokasi BEM, Hedy sering membantu mahasiswa-mahasiswa yang bermasalah. Makanya ia terbiasa mendengarkan curahan hati, keluh kesah, dan tangisan orang lain. Suatu kebetulan, Maurin menduduki posisi yang sama di BEM universitasnya. Tak heran jika mereka beberapa kali sharing seputar advokasi dan bantuan pada mahasiswa-mahasiswa yang bermasalah.
“Iya Ibu, mari duduk dulu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Minggu lalu saya sudah mencoba bicara dengan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan. Insya Allah anak Ibu tidak akan di-DO.” Hedy berkata menenangkan. Disambuti isakan penuh syukur dari wanita itu.
“Terima kasih Mas Hedy, terima kasih. Saya percaya, Mas Hedy bisa selamatkan anak saya.”
“Berdoa saja yang terbaik, Ibu.”
Setengah jam lamanya Hedy berbicara dengan orang tua mahasiswa itu. Ia mendengarkan keluhan dan keresahan beliau. Hatinya tak kuasa untuk menyela apa lagi meninggalkan si wanita yang sangat terpuruk lantaran anaknya terancam drop out dari kampus. Dalam hati ia berjanji untuk membantu anak malang itu meski waktu dan energinya sendiri yang harus dikorbankan. Sulit bagi Hedy untuk berkata ‘tidak’.
Selepas ibu dari mahasiswa itu berpamitan, Hedy bergegas meninggalkan apartemennya. Mengemudikan Toyota Rush-nya menembus sore berkabut. Melewati ruas jalan raya yang licin diguyur hujan.
**
Lampu kamera berkedip lalu padam. Prosesi take video sudah selesai. Menghela nafas lega, Hedy meletakkan kembali kamera DSLR itu ke dalam tasnya.
“Semoga lancar ya,” ujar Maurin.
“Amin. Main piano yuk. Aku pengen dengar kamu nyanyi dan main piano.” Ajak Hedy.
Maurin mengangguk. Melangkah bersisian dengan Hedy ke ruangan di bagian belakang rumahnya. Ruangan tempat menyimpan piano dan koleksi buku-bukunya.