Mohon tunggu...
Latifah Hardiyatni
Latifah Hardiyatni Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

Memasak, membaca, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertikaian Terakhir

6 Oktober 2022   08:56 Diperbarui: 6 Oktober 2022   09:03 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karya: Latifah Hardiyatni

"Kan sudah aku bilang kalo jemputnya jam 9 kurang biar enggak telat ke sini," kataku dengan nada ketus.

Melihat kemacetan di depan mataku membuat mood makin ambyar. Entah kemacetan apa, biasanya jalan ini lancar tak ada hambatan sama sekali.

"Ya, maaf, Yang. Aku, tadi bangun kesiangan."

Aku melirik ke arah Danu sekilas. Lalu, kembali membuang muka dengan menatap emperan toko lewat jendela mobil.

"Pasti kamu liat bola lagi, kan? Iya, kan? Makanya bisa sampe kesiangan seperti itu."

"Enggak. Semalam aku bantuin Kak Enggar pindahan rumah sampe malem. Badan capek semua terus kesiangan. Maaf, ya."

Aku menengok. Lelaki yang kusayang sejak dua tahun silam, tepatnya saat dia menolongku dari petaka di sungai, menatapku sekilas. Lalu, pandangannya kembali fokus ke jalan.

"Yang bener kamu bantuin Kak Enggar?"

Lelaki dengan mata tajam yang dinaungi bulu mata lebat itu mengangguk. Amarahku sedikit reda, meski masih ada sedikit sisa yang menempel di sana.

"Udah, dong, ngambeknya. Ntar cantiknya ilang. Aku janji kalo enggak akan telat jemput kamu lagi."

"Janji, ya."

"Iya."

Aku mengulas senyum semringah. Rasa sesal perlahan hilang seiring terurainya kemacetan di jalan.

Ya Tuhan. Semoga percetakannya belum tutup. Tadi pihak percetakan sudah mengabari kalau akan tutup lebih awal dari biasanya karena ada acara mendadak. Aku yang sudah janji mau mengambil undangan hari ini tak enak hati kalau mau membatalkan tiba-tiba.

Mobil melambat ketika memasuki halaman ruko. Aku turun setelah mobil terparkir sempurna dan mesin dimatikan.

Danu berjalan di sisiku. Dia menggamit lenganku sebelum masuk tadi. Tak lupa sebuah senyuman dan kerlingan dia berikan kepadaku. Hal yang mampu membuat hatiku kebat-kebit dengan wajah menghangat.

Kedatangan kami langsung disambut oleh Mbak Farah--penanggung jawab percetakan. Dia mengajak kami duduk dan memberikan pesanan kami.

Seulas senyum terbit di bibirku saat melihat undangan warna putih. Sebuah fotoku bersama Danu berada tepat di tengah undangan.

Ada kisah di setiap kejadian. Termasuk juga kisah dalam  momen foto itu. Aku hampir saja jatuh ke sawah--foto prewed di tepi sawah--untung saja Danu sigap menarikku. Lalu, sewaktu foto naik kerbau hampir saja gagal karena si kerbau ngambek.

"Bagus, kan?" tanya Danu membuyarkan lamunanku.

Aku mengerjap, lalu mengangguk. "Pilihan kamu yang satu ini emang bagus."

"Dari dulu kali bagusnya."

"Hish, pede banget, sih, Ayang aku ini."

"Jelas dong," ucapnya sambil menoel daguku. Membuat Mbak Farah berdehem kecil dan aku merasa jengah.

Danu tertawa kecil, mungkin geli dengan respon Mbak Farah. Sedang aku memilih menundukkan muka. Tak ingin mereka menyadari perubahan warna wajahku yang kini sudah terasa makin panas.

Setelah urusan kami selesai, aku bergegas mengajak Danu pulang. Aku ingin membagikan kartu undangan ke saudara terdekat sore nanti. Kalau belum habis dilanjutkan lagi besok setelah selesai fitting baju pengantin.

***

Tepat saat senja datang aku sampai rumah. Hari ini sudah cukup melelahkan. Akan ku teruskan bagi-bagi undangan esok hari.

Aku merebahkan diri di ranjang usai membersihkan tubuh. Dering ponsel terdengar mengusik cuping telingaku. Tanganku meraba meja kecil samping tempat tidur, di mana ponselku tergeletak di sana.

Ayang Danu, nama yang tertera di layar ponsel. Aku bergegas mengangkatnya.

"Yang, ntar aku mau nonton bola di stadion," ujar Danu di seberang telepon.

Aku yang masih sedikit kesal dengan kejadian tadi pagi, langsung bangkit.

"Enggak! Kamu enggak boleh nonton!"

"Kenapa, Yang?"

"Ayang inget inget enggak? Besok kita mau coba baju pengantin udah pas belum. Aku enggak mau, ya, kita telat lagi kek tadi pagi."

"Enggak bakalan telat, Yang."

"Enggak ada jaminan kamu enggak akan telat. Pokoknya aku enggak mau kamu nonton!"

"Jangan egois gitu dong, Yang. Selama ini aku sudah ngalah sama kamu."

"Kamu bilang aku egois? Nggak salah? Aku yang tiap saat ngalah sama kamu, Yang. Soal undangan, foto prewed, baju pengantin, aku ngalah sama maunya kamu. Terus kamu bilang aku egois?!"

"Kok malah jadi melebar ke mana-mana, sih, Yang. Pokoknya ntar malem aku mau pergi."

"Ya udah sana pergi. Enggak usah kembali sekalian!"

Aku menutup telepon dengan napas memburu. Ponsel kulemparkan ke ranjang begitu saja. Lalu, tubuhku perlahan terduduk ke lantai.

Amarah masih menyelubungi diri saat pintu berderit dan terdengar derap langkah mendekat. Sebuah usapan lembut mendarat di kepala bagian belakangku.

Aku menengok. "Ibu."

Kubenamkan kepala di dadanya. Usapan lembut itu masih berlangsung hingga beberapa saat. Usapan yang mampu menenangkan hatiku dan mengusir amarah yang menggelegak.

"Kalian bertengkar?" tanya Ibu pelan.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Terdengar helaan napas Ibu. "Orang yang mau menikah itu cobaannya banyak. Tapi jangan sampai kita kalah dengan cobaan itu. Beri sedikit waktu untuk Danu. Minta maaf sama dia, Ibu tadi sempat mendengar kata kasarmu. Ucapan adalah doa."

Apa sekeras itu aku berkata tadi hingga Ibu dengar? Atau memang Ibu menguping pembicaraan kami?

Ada sesak yang tiba-tiba menyergap perasaan. Ya Tuhan, bagaimana jika ucapanku tadi di aamiinkan olehNya. Sedang meminta maaf dan menghubunginya terlanjur gengsi. Semoga saja semua yang aku ucapkan tak terjadi.

Ibu meninggalkanku setelah aku tenang. Tak lupa beliau memberikan wejangan sebelum beranjak ke luar.

Detik demi detik berlalu. Kini, sudah lewat tengah malam. Namun, entah mengapa ada rasa cemas yang menancap di relung jiwa. Apa ini karena ucapanku tadi?

Aku bangkit dari ranjang. Berjalan ke sana ke mari agar rasa ini hilang. Bukannya hilang, rasa itu makin kuat hingga tanganku berkeringat dingin. Segelas air dingin yang aku siapkan sebelum tidur tadi juga tak mampu menetralisir perasaan ini. Ada apa ini?

Sebuah panggilan masuk dengan nama Ayang Danu ke dalam ponselku. Gegas ku terima panggilan itu setelah menggeser ikon telepon warna hijau.

"Diana," ucap seseorang di seberang sana. Nadanya seperti orang tengah bersedih.

Perasaanku makin tak enak. Bahkan aku merasa kakiku mulai tremor.

Aku mengernyit mengingat-ingat suara perempuan yang menggunakan telepon Danu. Itu suara Mbak Nani istrinya Mas Enggar.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku lirih. Entah mengapa aura kesedihan Mbak Nani yang sedikit sesenggukan menular kepadaku.

"Danu, Na. Danu ...."

"Kak Danu kenapa, Mbak?"

"Danu jadi korban kericuhan di stadion Kanjuruhan semalam. Dia tak bisa tertolong."

Aku tercekat. Udara seakan-akan lenyap. Aku mengambang di ruang hampa udara. 

"Mbak bercanda, kan?"

"Mbak serius. Sekarang mayat Danu masih di rumah sakit."

Ponsel dalam genggamanku jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi berdenting. Air mataku mengalir bak anak sungai, tumpah membasahi kedua belah pipiku. Aku meraung, mengeluarkan segala sesak yang ada. Namun, bukannya lega, aku malah makin menderita.

Kepedihan dan kesedihan ini makin dalam ku rasa saat mengingat pertengkaranku dengan Danu senja tadi.

"Ya Tuhan, seharusnya aku tak berkata seperti itu tadi. Kini hanya penyesalan dan kepedihan yang kudapatkan"

Magelang, 6 Oktober 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun