"Diana," ucap seseorang di seberang sana. Nadanya seperti orang tengah bersedih.
Perasaanku makin tak enak. Bahkan aku merasa kakiku mulai tremor.
Aku mengernyit mengingat-ingat suara perempuan yang menggunakan telepon Danu. Itu suara Mbak Nani istrinya Mas Enggar.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku lirih. Entah mengapa aura kesedihan Mbak Nani yang sedikit sesenggukan menular kepadaku.
"Danu, Na. Danu ...."
"Kak Danu kenapa, Mbak?"
"Danu jadi korban kericuhan di stadion Kanjuruhan semalam. Dia tak bisa tertolong."
Aku tercekat. Udara seakan-akan lenyap. Aku mengambang di ruang hampa udara.Â
"Mbak bercanda, kan?"
"Mbak serius. Sekarang mayat Danu masih di rumah sakit."
Ponsel dalam genggamanku jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi berdenting. Air mataku mengalir bak anak sungai, tumpah membasahi kedua belah pipiku. Aku meraung, mengeluarkan segala sesak yang ada. Namun, bukannya lega, aku malah makin menderita.