Aku menengok. "Ibu."
Kubenamkan kepala di dadanya. Usapan lembut itu masih berlangsung hingga beberapa saat. Usapan yang mampu menenangkan hatiku dan mengusir amarah yang menggelegak.
"Kalian bertengkar?" tanya Ibu pelan.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
Terdengar helaan napas Ibu. "Orang yang mau menikah itu cobaannya banyak. Tapi jangan sampai kita kalah dengan cobaan itu. Beri sedikit waktu untuk Danu. Minta maaf sama dia, Ibu tadi sempat mendengar kata kasarmu. Ucapan adalah doa."
Apa sekeras itu aku berkata tadi hingga Ibu dengar? Atau memang Ibu menguping pembicaraan kami?
Ada sesak yang tiba-tiba menyergap perasaan. Ya Tuhan, bagaimana jika ucapanku tadi di aamiinkan olehNya. Sedang meminta maaf dan menghubunginya terlanjur gengsi. Semoga saja semua yang aku ucapkan tak terjadi.
Ibu meninggalkanku setelah aku tenang. Tak lupa beliau memberikan wejangan sebelum beranjak ke luar.
Detik demi detik berlalu. Kini, sudah lewat tengah malam. Namun, entah mengapa ada rasa cemas yang menancap di relung jiwa. Apa ini karena ucapanku tadi?
Aku bangkit dari ranjang. Berjalan ke sana ke mari agar rasa ini hilang. Bukannya hilang, rasa itu makin kuat hingga tanganku berkeringat dingin. Segelas air dingin yang aku siapkan sebelum tidur tadi juga tak mampu menetralisir perasaan ini. Ada apa ini?
Sebuah panggilan masuk dengan nama Ayang Danu ke dalam ponselku. Gegas ku terima panggilan itu setelah menggeser ikon telepon warna hijau.