Maqashid al-syariah menduduki posisi sangat penting dalam merumuskan hukum Islam, termasuk di dalamnya adalah hukum ekonomi Islam. Tanpa maqashid syariah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan dan perbankan, kebijakan fiskal dan moneter akan kehilangan substansi syariah-nya. Tanpa maqashid syariah, fiqh muamalah yang dikembangkan, regulasi perbankan dan keuangan akan kaku dan statis, sehingga produk keuangan syariah sulit berkembang terlebih mengalahkan produk-produk lembaga keuangan konvensional.
        Abdul Wahhab Khallaf dalam buku ushul fiqhnya dengan tegas menyatakan bahwa nash-nash syariah tidak dapat dipahami secara tepat dan benar kecuali oleh orang yang memahami maqashid syariah dan asbabun nuzul.  Keberhasilan penggalian hukum ekonomi Islam dari dalil-dalil Al-quran dan Sunnah sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang maqashid syariah yang dapat ditelaah dari dalil-dalil tafsili. Maqashid syariah bagi ulama dapat memberikan dimensi filosofis terhadap produk-produk hukum ekonomi Islam yang dilahirkan dalam aktivitas ijtihad ekonomi syariah kontemporer.
        Upaya ijtihad terhadap kompleksitas hukum ekonomi syariah masa kini, memerlukan analisis berdimensi filosofis yang terkandung dalam maqashid syariah. Pemahaman maqashid syariah bertitik tolak dari pemahaman falsafah tasyri, tarikh tasyri, fil muamalah, ulumul quran, ulumul hadits, mushtahalul hadits, qawaid fiqh dan disiplin ilmu terkait yang diijtihadi.
A. Â Â Pengertian Maqashid Al-Syariah
     Secara etimologi maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan al-syariah. Maqashid adalah tujuan, sedangkan syariah adalah jalan menuju air, jalan menuju kearah sumber kehidupan, ajaran, aturan dan hukum Allah yang diturunkan kepada hambanya untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
     Sedangkan secara terminologi pengertian maqashid al-syariah yang dikemukakan oleh ulama terdahulu adalah
1. Â Â Â Imam al-Ghazali
     "Penjagaan terhadap maksud dan tujuan syariah adalah upaya mendasar untuk bertahan hidup, menahan faktor-faktor kerusakan dan mendorong kesejahteraan"
2. Â Â Â Imam al-Syathibi
     "Maqashid terbagi dua yaitu berkaitan dengan maksud Allah selaku pembuat syariah dan berkaitan dengan maksud mukallaf"
Maksud Allah adalah kemaslahatan untuk hamba-Nya yang berdimensi dunia dan akhirat. Sedangkan maksud mukallaf (manusia) adalah ketika hamba-Nya diperintahkan untuk hidup dalam kemaslahatan di dunia dan akhirat yaitu dengan menghindari kerusakan di dalam dunia. Untuk itu harus ada penjelasan antara kemaslahatan (maslahah) dan kerusakan (mafsadah).
3. Â Â Â Alal al-Fasi
     "Maqashid syariah merupakan tujuan pokok syariah dan rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan oleh Tuhan".
4. Â Â Â Ahmad al-Raysuni
     "Maqashid al-syariah adalah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh syariah untuk dicapai demi kemaslahatan manusia".
5. Â Â Â Abdul Wahab Khallaf
     "Tujuan umum ketika Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan terpenuhinya kebutuhan yang dlaruriyah, hajiyah dan tahsiniyah".
     Dari beberapa pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa maqashid al-syariah adalah maksud Allah selaku pembuat syariah untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia yaitu dengan terpenuhinya kebutuhan dlaruriyah, hajiyah dan tahsiniyah agar manusia bisa hidup dalam kebaikan dan dapat menjadi hamba Allah yang baik.
B. Â Â Sejarah Maqashid al-SyariahÂ
     Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum Islam klasik istilah dan konsep maqashid syariah sudah banyak menjadi pembahasan para ulama. Menurut Ahmad Raysuni tokoh terpenting dalam maqashid syariah adalah Imam al-Syathibi (w. 790 H), namun al-Syathibi bukan ulama pertama yang memperkenalkan konsep maqashid syariah. Ia mengatakan istilah maqashid syariah pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, seorang ulama yang hidup di awal abad ke 4 dalam buku yang ditulisnya yaitu al-Salah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-Illah, Ilal al-Syariah dan juga al-Furuq yang diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi buku karangannya.
     Setelah al-Turmudzi al-Hakim, muncul Abu Manzur al-Maturidi (w. 333 H) dengan karyanya Ma'had al-Syara', kemudian disusul oleh Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w. 365 H) dengan bukunya Ushul Fiqh dan Mahasin al-Syariah, setelah itu muncul Abu Bakar al-Habhari (w. 375 H) dengan karyanya yang berjudul Mas'alah al-Jawab wa al-Dalail wa al'Illah, kemudian al-Baqillany (w. 403 H) dengan karyanya al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Turuq al-Ijtihad.
     Setelah al-Baqillany, kemudian muncul Imam al-Juwaeny (419-478) yang dikenal dengan Imam Haramain. Dalam beberapa karangannya beliau adalah orang yang pertama mengklasifikasikan maqashid al-syariah menjadi tiga kategori besar, yaitu Daruriyah, Hajiyah dan Tahsiniyah. Dengan karyanya adalah al-Burhan, al-Talkhis, al-Waraqat. Kemudian pemikiran Imam al-Juwaeny dikembangkan oleh muridnya yaitu Abu Hamid al-Ghazali/Imam Ghazali (w. 505 H/1111 M), kemudian muncul al-Razy (w. 606), al-Amidy (w. 631) dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Ibnu Hajib (w. 646), Izzudin Abd. Salam (660) dalam karyanya Qawaid al-Ahkam fi Masholih al-Anam, Baidlowi (w. 685), al-Asnawi (w. 772), Ibn Subuki (w. 771), al-Qarafi, Ibnu Taymiyah, Ibn Qayyim dan Najamuddin al-Tufi (w. 710) dalam Risalah fi Ri'ayah al-Maslahah dan beberapa tokoh besar lainnya.
     Dari beberapa tokoh ulama tersebut, Imam Syathibi dalam karyanya al-Muwafaqat  adalah yang paling sistematis dan komprehensif dengan metodologi sofisticated yang belum ada sebelumnya. Pemikiran ulama klasik yang dilanjutkan dan dikembangkan oleh Imam Syathibi adalah konsep pemikiran Abu al-Ma'ali al-Juwainy/Imam Haramain. Al-Juwainy membuat konsep maqashid syariah sebagai pendekatan baru yang mempunya karakteristik kepastian dalil-dalilnya dan melampaui perbedaan-perbedaan mazhab fiqh dan bahkan dari ushul fiqh mainstream.Â
     Gagasan dan konsep mengenai maqashid al-syariah kembali muncul di abad 20 dengan tokoh Muhammad Thohir ibn Asyur (1879-1973 M). Bahkan ia dianggap sebagai bapak maqashid syariah kontemporer setelah syatibi. Kajian maqashid syariah adalah bagian dari ushul fiqh tapi bukan ushul fiqh lama, namun ushul fiqh baru, yang merupakan pendekatan baru dalam ushul fiqh. Pengabaian maqashid syariah akan membuat syariah menjadi kaku dan kehilangan substansi yang sebenarnya.  Artinya pendekatan kebahasaan akan melahirkan diktum-diktum fiqh yang atomistic, parsial dan tidak bisa menjawab perubahan zaman yang cepat.
C. Â Â Maksud dan Tujuan Syariah
     Para ulama salaf dan khalaf bersepakat bahwa setiap hukum syariah pasti memiliki alasan (Illat) dan juga tujuan (maqashid) dalam pemakaiannya. Tujuan dan alasannya adalah untuk membangun dan menjaga kemaslahatan manusia. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Jasser Audah menyebutkan bahwa syariah adalah  suatu kebijakan (hikmah) dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Syariah merupakan keselurahan dari keadilan, kedamaian, kebijakan dan kebaikan. Imam Syathibi mengatakan bahwa " syariat ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat". Dari paparan di atas, jelas bahwa tujuan akhir dari maqashid syariah adalah maslahah.Â
     Kemaslahatan yang hendak dicapai oleh syariah bersifat umum dan universal. Karena itu, sebagian besar umat Islam mempercayai bahwa Allah tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Syariah diturunkan agar kehidupan yang adil dapat ditegakan, kebahagiaan sosial dapat diwujudkan dan ketenangan dalam masyarakat dapat diciptakan.
D. Â Â Pembagian Maslahah
     Pembagian maslahah secara umum menjadi tiga bagian.
1 Â Â Â Al-Maslahah al-Mu'tabarah
2. Â Â Â Al-Maslahah al-Mulghah
3. Â Â Â Al-Maslahah al-Mursalah
     Pertama, al-maslahah al-mu'tabarah adalah kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dan tidak diragukan lagi penggunaannya. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan dalam Al-quran dan Sunnah, kemaslahatan ini dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Untuk bahasan maslahah semua ulama sepakat untuk menerima al-maslahah al-mu'tabarah karena sudah tertera dalam Al-quran dan Sunnah.
Kedua, al-maslahah al-mulghah kemaslahatan yang tidak ada teksnya dalam syariah, bahkan bertentangan dalam Al-quran dan Sunnah. Menjadikan maslahah itu sendiri dihilangkan (mulghah) dan tidak dianggap. Kemaslahatan seperti ini dianggap bathil oleh syara' dan tidak berlaku dalam penetapan hukum. Contoh kemaslahatan dalam praktek riba, padahal sudah sangat jelas bahwa riba adalah sesuatu yang sangat diharamkan dan dicela dalam Islam. Ketiga, al-Maslahah al-mursalah adalah ketika tidak ada teks yang membatalkannya dan juga tidak ada ketentuan khusus yang terkait dengannya. Atau dapat disimpulkan bahwa kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menyuruhnya dan tidak ada pula dalil yang melarangnya. Contoh pembangunan penjara, pencetakan uang, dll.
     Berdasarkan cakupan dan ruang lingkup kandungannya, maslahah dibagi dalam dua macam yaitu:
1. Â Â Â Maslahah Ammah yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak
2. Â Â Â Maslahah Khas yaitu kemaslahatan pribadi seperti kemaslahatan pemutusan hubungan perkawinan yang dinyatakan hilang.
     Dalam kaitan kedua maslahah ini adalah berkaitan dengan mana yang harus didahulukan.
     Dipandang dari segi perubahan atau tetapnya kemaslahatan, maslahah dibagi kepaa dua macam yaitu:
1. Â Â Â Maslahah Tsabitah yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya solat, puasa, zakat dan haji.
2. Â Â Â Maslahah Mutaghayyirah yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai denga perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Seperti intervensi harga, larangan talaqi rukban.
E. Â Â Praktek Maslahah (maqashid syariah) pada masa Rasulullah SAW
     Di masa Rasulullah SAW praktek maslahah sangat banyak diterapkan, ketika dalam kasus larangan penyimpanan daging kurban, larangan tas'ir (intervensi harga), talaqqi rukban, larangan menyewakan tanah, larangan dan kebolehan muzara'ah, dsb. Praktik ini menunjukan aspek maslahah dan illat menjadi pertimbangan penetapan hukum.Â
F. Â Â Penerapan Maqashid al-Syariah di Masa Khulafaur Rasyidin
     Penerapan maqashid syariah ini berlanjut semakin intens di masa sahabat dan sesudahnya. Wilayah Islam semakin luas dan penganut muslim semakin banyak. Para sahabat harus menghadapi persoalan-persoalan baru dan perubahan sosial yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup.
1. Â Â Â Kebijakan Abu Bakar Memerangi Pembangkang Zakat
     Setelah Rasulullah SAW wafat , Abu Bakar naik menjadi menjadi khalifah, sebagian orang arab menolak membayar zakat dengan alasan bahwa zakat adalah kewajiban yang dibayarkan kepada Nabi, setelah wafat maka tidak ada lagi kewajiban itu. Abu Bakar berniat memerangi mereka. Kebijakan ini secara teks tidak ada dalam Al-quran dan Sunnah, tetapi demi kemaslahatan Abu Bkar berani membuat kebijakan ini setelah berdiskusi dengan para sahabat. Kebijakan ini diambil sebagai tanggung jawab negara dalam merealisasikan tujuan syariah hifzhu al-din untuk terwujudnya kesejahteraan rakyat.
2.    Taudhif  (Pajak)
     Taudhif  adalah kewajiban yang dibebankan oleh negara kepada umat Islam yang memiliki kelebihan harta di luar kewajiban zakat untuk menutupi defisit anggaran. Kewajibannya bersifat tetap dalam rangka fungsi hirasatud din dan siyasatud dunya bihi. Hal ini untuk keperluan jihad dikarenakan sumber zakat tidak bisa mencukupi.
3. Â Â Â Kebijakan Umar bin Khattab yang mengandung Maqashid Syariah
     Umar dikenal sebagai tokoh inovatif dalam berijtihad, diantaranya adalah
     a. Kasus Tanah Sawad di Iraq
        Umar tidak membagikan harta ghanimah kepada prajurut Islam, walaupun menurut Al-quran (Al-Anfal 41) bahwa 80% hasil tersebut harus diserahkan kepada prajurit Islam yang telah berhasil membebaskan daerah tersebut, sedangkan 20% untuk baitul maal.
     b. Tidak Memberikan zakat pada MuallafÂ
        Umar tidak memberikan zakat kepada muallaf karena pada saat itu Islam sudah kuat dan jumlah kaum muslimin sangat banyak. Untuk itu tidak dibutuhkan lagi pelunakan hati melalui materi.
     c. Tidak Memotong Tangan pencuri
        Alasan Umar pada saat itu adalah karena pada masa itu suasana ekonomi sangat gawat (paceklik) yang disebut amul maja'ah.Â
G. Â Â Maqashid Syariah dan Filsafat Hukum Islam
     Dari paparan sebelumnya tentang konsep maqashid syariah, dapat dipahami bahwa maqashid syariah memiliki muatan tentang substansi yang hakiki dari suatu hukum Islam melalui penekanan tujuan-tujuan hukum. Dalam kajian ahli hukum, penekanan pemahaman terhadap tujuan tujuan hukum merupakan pembicaraan tertinggi dari filsafat hukum. Filsafat hukum menekankan tercapainya cita-cita keadilan atas dasar nilai nilai fundamental bagi kehidupan manusia. Perumusan fiqh muamalah, fatwa, regulasi dan undang-undang ekonomi syariah harus menggunakan maqashid syariahdan filsafat hukum Islam.
H. Â Â Tingkatan Maslahah
     Para ulama fiqh membagi tingkatan maslahah kepada tiga tingkatan yaitu.
     1. Kemaslahatan Dharuriyah
Ialah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia baik dimensi agama maupun akherat. Artinya kehidupan manusia tidak bisa tegak tanpa 5 kebutuhan dasar tersebut (al-dharuriyah al-khamsah) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala usaha yang menyebabkan rusaknya 5 kebutuhan dasar tersebut adalah mafsadah, sehingga Allah melarangnya.
     2. Kemaslahatan Hajiyat
Kebutuhan yang tidak pokok tapi menjadi penyangga kebutuhan dharuriyah. Sehingga apabila tidak terpenuhi dalam kehidupan tidak akan mengancam eksistensi kehidupan itu sendiri. Contoh pembangunan sekolah, menuntut ilmu adalah dharuriyah namun pembangunan bangunan sekolah bersifat hajiyat.
     3. Kemaslahatan Tahsiniyah
Kemaslahatan bersifat pelengkap kedua kemaslahatan sebelumnya. Misalnya berpakaian yang indah, menerapkan cara pemasaran islami, memberikan service exellence bagi praktisi ekonomi Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H