***
Suatu pagi yang gerimis. Ketika aku dan suamiku berada di meja makan. Ia yang membuatkan aku sarapan. Setiap pagi. Sejak aku penyakitan. Aku hanya memandangi omelet di hadapanku. Hatiku terasa sakit. Aku tau kebaikannya hanyalah bentuk dari rasa kasihan kepada perempuan lemah sepertiku. Ia tak lagi mencintaiku.
"Sayang.. Kamu mau jalan-jalan bersamaku?"
Aku terdiam tak menjawab. Tatapanku masih tertuju pada makanan di piring. Bayangan perempuan yang selalu mendatangiku terlihat jelas. Setiap kalimatnya masih terdengar jelas.
Aku memainkan garpu dan pisau di atas piring. Tanpa memakannya satu suap pun. Aku membayangkan bahwa omelet di hadapanku ini suamiku. "Bunuh dia! Bunuh dia! Bunuh dia!"
Kata-kata tersebut menggema lagi. Aku menusuk-nusuknya. Aku tusuk lagi dengan sengit. Aku tusuk lagi sehingga suara piring dan pisau beradu kencang.
"Sayang..."
Suamiku memanggilku. Aku tak menghiraukan. Aku tau ia hanya pura-pura baik terhadapku. Sebab kenyataanya di belakang dia berselingkuh. Aku menghentikan kegiatanku.
"Perempuan itu. Selalu datang menemuiku. Dia sudah menceritakan segalanya"
Entahlah. Kata-kata yang meluncur dari bibirku ini lebih mirip gumaman.
"Siapa yang datang, sayang?"
"Perempuan, yang aku tak tau namanya.."
Aku tak lagi melanjutkan kalimatku. Suamiku mengernyitkan dahi. Menatapku heran. Mungkin dia shock istrinya telah menyadari perselingkuhanya.