Berjam-jam aku habiskan waktuku di teras depan. Rumah ini sangat sepi. Aku tak memiliki kegiatan apapun sejak aku penyakitan. Tak ada orang lain di rumah ini kecuali aku dan suamiku.
Aku memiliki penyakit yang suamiku tak mau memberi tahukan kepadaku. Bukankah sakitku ini parah? Aku tak ingin berobat. Aku tak mau ke dokter. Biarkan saja aku mati perlahan.
Perempuan itu datang lagi...
"Suamimu baru saja bersamaku sebelum dia ke kantor. Kasihan sekali kamu. Perempuan tak berdaya sepertimu memang layak ditinggalkan. Suamimu berkata ia akan menikahiku..."
Kali ini aku tak lagi bisa menahan emosiku. Aku menampar pipi perempuan itu berkali-kali. Aku menjambaknya. Aku melemparkan apa saja yang bisa aku lemparkan ke arahnya. Pot bunga. Guci keramik. Kami saling jambak. Kami bergulat di lantai. Ia terluka. Aku berdarah. Ada banyak luka di sekujur badanku. Aku tidak lagi peduli. Aku atau dia yang mati. Ia membantingku ke lantai berkali-kali.
"Sayang...."
Sayup-sayup aku mendengar suara suamiku. Baguslah! Aku ingin tunjukan keberadaan perempuan laknat itu di sini. Aku ingin tunjukan bukti-bukti perselingkuhanya.
"Sayang.. Apa yang kamu lakukan? Tolong sadar... Sadarlah.."
Aku mendengar suamiku menangis. Ia berusaha keras melepaskan aku. Ia berusaha keras memelukku. Aku meronta. Aku masih ingin menyiksa perempuan itu.
"Bunuh suamimu.. Bunuh segera.. Segera.. Secepatnya.."
Bisikan malam itu terngiang lagi. Aku ingin mencekiknya. Aku ingin membunuhnya. Lihat.. Dia melepaskan aku dari perempuan itu. Dia tak rela perempuan itu terluka.
Aku menjerit...