Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rival, Kita Itu Musuh!

25 April 2020   22:12 Diperbarui: 25 April 2020   22:22 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nabila adalah gadis lucu dan pintar yang berusia 17 tahun. Ia baru saja menginjakkan kakinya di koridor SMA Harapan Bangsa. Banyak yang mengenal Nabila, hal tersebut terlihat ketika Nabila berjalan untuk menuju kelas 12 IPA-1 atau kelasnya di tahun ajaran baru ini.

Banyak pula siswa-siswi yang menyapanya ataupun sekedar tersenyum ke arahnya. Sementara Nabila akan senang hati membalasnya dengan mengucapkan 'Selamat Pagi', itulah kebiasaan Nabila yang hampir 3 tahun dikenal senang menyapa semua orang yang ia kenal ataupun tidak.

"Lagi lihat apa, mbak?" Tanya Nabila kepada seorang siswi ketika sampai di depan sebuah mading.

"Lihat masa depan," Jawab siswi tersebut, tanpa mengindahkan pandangnya dari mading.

"Dih bucin," Celetuk Nabila.

"Empat L," Ucap siswi tersebut yang berkacak pinggang menghadap Nabila dengan ekspresi malas.

"Apa tuh?"

"LO LAGI LO LAGI!!!" Teriak siswi tepat di depan wajah Nabila. Sehingga Nabila harus menutup mata dan telinganya rapat-rapat.

"Yaudah sih nggak usah pakai teriak-teriak, Al," Kesal Nabila.

Al atau Aleta adalah anak kelas 12 IPA-2, yang kelasnya tepat di samping kelas Nabila. Aleta memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Nabila, Aleta akan terlihat judes ke semua orang yang ia anggap mengganggunya. Tetapi Aleta juga mempunyai kemampuan berpikir yang hampir sama dengan Nabila si gadis IPA SMA Harapan Bangsa, walaupun mereka sama-sama terlahir dengan kemampuan otak yang luar biasa, mereka berdua selalu terlihat bertengkar dan beradu mulut di sepanjang harinya. Dan mereka akan terlihat akur ketika sama-sama akan mewakili olimpiade sains, ya walapun itu hanya beberapa kali saja sih.

"Lo ganggu," Ketus Aleta kepada Nabila.

"Kok ganggu sih? Kan gue cuman tanya Aleta lo lagi lihat apa? Emang salah?" Nabila mengulang lagi pertanyaannya dengan menatap Aleta.

"Nabila Anjani" bukannya menjawab pertanyaan dari Nabila, Aleta justru mentap Nabila malas dan menyebutkan nama Nabila secara lengkap.

"Iya apa, Aleta Sanjaya?" berbeda dengan Aleta yang melihat Nabila dengan ekspresi datar ataupun malas, Nabila justru membalas Aleta dengan senyum yang mengembang di kedua sudut bibirnya.

Aleta pun hanya memutar kedua bola matanya jengah dengan sikap Nabila yang ia anggap sok polos dan sok ramah.

"Lo punya mata kan?" Tanya Aleta dengan ekspresi masih sama.

"Punya dong, nih dua mata saya hidung saya satu, satu mul...emmm," Jawaban Nabila yang merupakan sepenggal lirik lagu anak-anak, langsung dipotong oleh Aleta dengan menutup mulut Nabila dengan tangan kanannya.

"Nggak usah diterusin! Gue cuman tanya lo punya mata atau enggak? Udah itu aja, gue nggak peduli mau lo punya hidung, mulut atau pun apalah itu. GUE NGGAK PEDULI!!!" setelah mengatakan hal tersebut, Aleta pun langsung pergi meninggalkan Nabila, dan sebelum itu ia juga menunjuk ke arah mading agar Nabila melihat apa yang ia lihat tadi.

***

"Lomba sains?" Tanya seorang gadis yang saat ini tengah duduk tepat di sebelah bangku Nabila. Nabila pun hanya mengangguk sebagai jawabnnya.

"Pasti bentar lagi si Aleta bakal temuin lo deh," Ucap gadis tersebut dengan sangat yakin.

"Udah ketemu kali"

"Hah?! Serius lo?! Terus-terus gimana?"

"Bukan Aleta sih yang nemuin gue, tapi gue ketemu dia pas di depan mading, yah gitu lo tau sendiri kan gimana ekspresi Aleta waktu ketemu gue, Ra?" Mira adalah nama gadis yang dari tadi berbicara dengan Nabila, mereka berdua berteman sejak kelas 10 atau awal masuk SMA.

"Eh tapi kalau dipikir-pikir ya Bil, lo tuh sama Aleta harusnya bisa jadi temen secara lo..."

"Nggak gue nggak mau temenan sama dia! Ih bisa-bisa gue kena tekanan batin tau nggak!" Tak terima Nabila ketika mendengar ucapan dari Mira. Mira pun menghelakan nafasnya perlahan dengan memijat pangkal hidungnya.

"Gue belum selesai ngomong, Bila, lo tuh hobi banget memotong pembicaraan orang tau nggak?!" Kesal Mira.

"Ya maaf.. habisnya tadi lo bilang kalau gue mestinya berteman sama dia? Idih ogah gue" jawab Nabila dengan menampilkan ekspresi jijik yang ia buat-buat.

"Masalahnya itu kalian selalu satu sekolah dari SD sampai sekarang, dan di mana-mana kalau satu sekolah terus selama hampir 12 tahun ini, harusnya kalian berdua tuh temenan, atau mungkin bisa sahabatan sampai kek saudara gitu. Nah elo sama si Aleta malah musuhan mulu. Kesel gue lihatnya," Kata Mira dengan sangat panjang seperti berceramah.

"Yaudah nggak usah dilihatin," Mendengar jawaban dari Nabila yang terdengar acuh dan tidak peduli, hal tersebut membuat semakin Mira jengkel terhadap Nabila, dan saat ia ingin membalan Nabila tiba-tiba suara bel masuk berbunyi.

"Sabar, Ra. Sabar.. orang cantik nggak boleh marah," Ucap Mira kepada dirinya sendiri dengan mengelus-elus dadanya.

***

Istirahat aslinya akan menjadi surganya para anak-anak sekolah, tapi tidak untuk Nabila yang saat ini tengah duduk di salah satu kursi di dalam ruang Kepala Sekolah SMA Harapan Bangsa. Di dalam sana Nabila tidak sendiri, tenyata ia ditemani oleh musuh bebuyutannya siapa lagi kalau bukan Aleta si judes.

"Ngapain lo lihat-lihat?!" Tanya Aleta galak

"Idih siapa jugak yang lihat-lihat lo"

Terlihat jelas saat ini ruangan yang begitu dingin karena ada dua buah AC, seketika atmosfernya lebih terasa panas karena Nabila dan Aleta yang sama-sama diam, dan memilih melirik tajam satu sama lain.

"Udah lirik-lirikannya?" Tanya Pak Dermawan, adalah Kepala SMA Harapan Bangsa.

Pak Dermawan, sesuai dengan namanya, beliau terkenal begitu sabar dan dermawan menghadapi murid-muridnya yang terkadang susah sekali untuk diatur.

Pak Dermawan menarik nafasnya dalam-dalam untuk mulai memberi tahu kepada kedua siswi yang ada di depannya ini.

"Udah tau kan kalau ada lomba sains?" Tanya Pak Dermawan

"Udah" Jawab Nabila dan Aleta nyaris bersamaan.

"Untunglah kalau kalian sudah tahu, jadi bapak ngundang kalian kesini, mau salah satu dari kalian mewakili SMA kita untuk maju ke lomba tersebut," Tutur Pak Dermawan.

"Yaudah kalau gitu saya aja, Pak," Seru Nabila yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Aleta.

"Enak aja lo! Ya gue lah yang berhak pergi kesana!" Tungkas Aleta tak terima.

"Heh nggak usah pede lo! Jelas-jelas gue dua bulan yang lalu baru aja bawa pulang piala sains JUARA SATU," Ucap Nabila dengan menekan kata 'juara satu', dan mengangkat jari telunjuknya tepat di depan wajah Aleta.

"Nggak usah sombong lo! Gue aja yang sering juara nggak pernah sombong tuh, nah lo baru juara beberapa kali aja sombong!" Sengit Aleta dengan menatap tajam Nabila.

"Lo bilang apa? Nggak boleh sombong? Lah tadi barusan lo baru aja sombong sama gue," Ucap Nabila yang terima dengan Aleta.

"Pengecualian buat lo, gue nggak bakal sombong kalau lo nggak sombong,"

"Ya nggak bisa gitu dong, Al...."

Brak! 

Ucapan Nabila terpotong dengan suara gebrakan meja dari Pak Dermawan, yang saat ini tengah menatap Nabila dan Aleta yang tengah tertunduk secara bergantian.

"Udah debatnya?" Tanya Pak Dermawan dengan halusnya, yang mendapatkan jawaban anggukan dari Nabila dan Aleta.

"Saya tidak akan memberangkatkan salah satu di antara kalian untuk maju ke lomba itu,"

"Hah?!" kaget Nabila dan Aleta lagi-lagi hampir bersamaan.

"Lah terus tujuan bapak manggil kita ke sini buat apa, Pak? Kalau gitu mending saya ke kantin aja, Pak," Kesal Nabila sembari melipat kedua tangannya, dan meniup poninya.

"Nabila, saya belum selesai ngomong,"

"Makanya jadi orang tuh jangan suka motong pembicaraan orang," Cibir Aleta dengan senyum mengejeknya.

"Apaan sih lo?!" Sengit Nabila yang merasa malu.

"Bapak manggil kalian ke sini, mau ngadain lomba buat kalian sendiri atau sejenis seleksilah, agar salah satu dari kalian bisa saya kirim ke lomba tersebut," Tutur Pak Dermawan.

"Tapi bukannya tadi bapak nggak mau ngirim salah satu dari kita?" Tanya Aleta dengan yang sama bingungnya dengan Nabila.

"Iya tadi kan saya mau menjelaskan eh malah dipotong sama Nabila"

"Ya maaf, Pak. Hehe," Ucap Nabila dengan cengiran khasnya.

"Dan saya akan memberi waktu kalian berdua untuk sama-sama menunjukan kepada saya siapa yang pantas untuk dikirim ke lomba tersebut, dengan catatan tidak boleh ada pertengkaran di antara kalian. Dan kalian tidak akan dibimbing oleh guru pembimbing," ucap Pak Dermawan dengan panjangnya.

"Apa, Pak?! Nggak ada pertengkaran di antara saya sama DIA?! Yang bener aja pak, ya nggak, Al?" Nabila sengaja menekan kata 'dia' sembari menunjuk Aleta dengan dagunya.

"Idih sok asik lo," Cibir Aleta. Nabila yang mendengar cibiran dari Aleta pun hanya manatapnya dengan sinis.

"Terus tadi bapak bilang kalau kita nggak ada guru pembimbing, kok gitu, Pak?" Tanya Aleta.

"Bapak sudah sering sekali dengar dari guru-guru yang pernah membimbing kalian tentang siapa kalian, banyak guru-guru di sini yang bilang jika kalian itu bisa belajar secara otodidak. Jadi kenapa nggak?"

"Yaudah kalau gitu saya permisi, terima kasih, Pak," Pamit Aleta kepada Pak Dermawan.

"Hah Aleta! Al! Yaudah deh pak saya juga ikut pamit. Assalamu'alaikum!" Setelah itu Nabila keluar dan menyusul Aleta.

"Aleta! Al! Leta! Ta!" Nabila mencoba berlari mengejar Aleta, dengan sesekali memanggil nama Aleta begitu keras, sehingga mendapatkan tatapan aneh oleh setiap siswa-siswi yang berada di sana.

"Aleta ih! Lo budeg ya?!" Tanya Nabila dengan kesalnya, dan nafas yang masih tersengal-sengal ketika sudah sampai di depan Aleta.

"Lo ngomong sama gue?" Bukannya menjawab, Aleta malah balik bertanya kepada Nabila dengan tampang polosnya.

"Aish... nih bocah, lo nggak hargain gue banget sih? Tadi gue lari-lari sambil teriak-teriak buat nyusul lo, eh lo nya malah nggak tahu diri,"

"Berapa harga lo?" Tanya Aleta dengan santainya.

"Maksud lo?" Tanya Nabila yang tak mengerti dengan Aleta.

"Ck! Tadi kan lo bilang, gue nggak hargain lo, nah sekarang gue mau hargai lo. Berapa?" Aleta sembari merogoh saku ro nya untuk mengambil sesuatu, sejenis uang mungkin.

"Astaghfirullah Aleta ih! Bukan itu," Ucap Nabila dengan frustasinya.

"Terus?"

"Lo tadi kenapa malah ngiyain sih, kalau nggak ada guru pembimbing,"

"Lah emang kenapa? Toh gue juga udah biasa belajar sendiri, oh... atau jangan-jangan lo nggak bisa ya belajar sendiri?" Ejek Aleta dengan mendekatkan tubuhnya ke Nabila.

"E..e..enak aja, gue bisa kok belajar sendiri," Ucap Nabila dengan terbata-bata.

"Kalau saran gue ya, Bil, mending lo mundur aja deh, yah bukannya gimana-gimana ya. Tapi lo bisa lihat sendiri kan selama ini yang sering menangin lomba itu GUE," Selain karena kejudesannya, Aleta juga terkenal dengan kesombongan dan keangkuhannya.

"Nggak usah sombong dulu kalau belom dibuktiin," Ucap Nabila yang tak mau kalah dengan Aleta.

"Yaudah kalau gitu kita buktiin. Kita RIVAL,"

"Kita MUSUH!" Setelah Nabila dan Aleta berpisah, dan menuju ke kelas mereka masing-masing.

***

Tidak terasa sudah hampir satu minggu ini Nabila dan Aleta saat istirahat, ataupun setelah bel pulang sekolah berbunyi, mereka berdua selalu berada di perpustakaan. Ini merupakan hari ke 5 mereka diberikan tantangan dari Pak Dermawan untuk belajar sendiri, sebelum mengikuti tes seleksi lomba. Dan selama hampir seminggu ini mereka berdua terlihat lebih dekat, yah walaupun sering sekali berdebat, karena mungkin sifat Nabila yang usil, sementara Aleta yang terlalu serius menanggapi tingah laku Nabila.

Seperti saat ini, bel pulang sekolah baru saja berbunyi 10 menit yang lalu, tetapi Nabila dan Aleta sudah sibuk dengan buku mereka masing-masing di dalam perpustakaan. Terdengar suara helaan nafas yang begitu lelah dari Nabila, dengan menutup buku tulis  nya.

"Ta?" Panggil Nabila kepada Aleta yang berada tepat di sebelahnya, dan masih berkutat dengan rumus-rumus.

"Hm," Gumam Aleta sebagai jawabannya.

"Gue boleh nyerah nggak sih?" Tanya Nabila yang tampak lesuh. Aleta mengernyit heran, ketika mendengar Nabila mengucapkan itu.

"Maksud lo?" Tanya Aleta tanpa mengindahkan pandangannya dari buku.

"Setelah gue pikir-pikir yang pantes buat maju lomba itu elo Ta, bukan gue," Terdengar suara Nabila begitu lemah dan pasrah.

"Bil lo nggak kesambet kan?" Tanya Aleta untuk memastikan bisa saja Nabila saat ini kesurupan hantu di perpustakaan sekolah mereka yang katanya itu horor. Nabila pun hanya menggeleng dengan menampilkan wajah melasnya.

"Ck, Bil lo tuh belum perang loh, masak lo udah nyerah aja sih?" Kesal Aleta ketika melihat wajah Nabila sudah tak bersemangat lagi.

"Ta lo kan tau sendiri, gue dari kecil nggak bisa kalau harus belajar sendiri, selalu ada bunda buat bantu gue, tapi berhubung bunda lagi hamil adek gue, gue rasa lo yang harusnya maju Ta," Memang dari Nabila kecil yang selalu menemaninya belajar dan selalu mengajarinya adalah bundanya. Aleta pun membuang nafasnya kasar, sembari meletakkan penanya di atas meja.

"Jadi lo nyerah? Aduh padahal dulu waktu gue mau nyerah buat nggak ikut lomba cerdas cermat waktu SD, ada anak jelek yang selalu nyemangatin gue loh, katanya gini. 'Cemangat Leta, kamu jangan nyerah gini dong, padahal perangnya kan belum mulai" Tutur Aleta dengan menirukan gaya bicara Nabila waktu menyemangatinya saat SD dulu.

"Haha ha.. iya iya gue inget," Nabila tidak bisa lagi menyembunyikan tawanya ketika mendengar Aleta menirukan gayanya waktu kecil, ditambah lagi ekspresi wajah Aleta terlihat sangat tidak cocok dengan Aleta yang sekarang terkenal judes.

"Nah aslinya lo tuh jangan nyerah, kayak apa yang diucapkan sama Nabila kecil, yang katanya jangan nyerah kalau perangnya belum dimulai,"

Nabila pun tampak memikirkan ucapan dari Aleta tadi, benar apa yang diucapkan oleh Aleta, jika perang yang sebenarnya belum dimulai, ini baru latihan saja.

"Gue bakal bantu lo," Aleta berucap sembari menepuk pundak kanan Nabila, dengan tersenyum kecil guna meyakinkan Nabila.

"Serius?" Tanya Nabila yang menatap Aleta dengan mata berbinar. Sementara Aleta hanya mengangguk.

"Eh, tapi kan kita musuh Ta, bukan nya nggak seharusnya musuh itu baik sama musuhnya ya?" Tanya Nabila ketika mengingat selama ini Aleta mengklaim diri mereka itu musuh.

"Iya kita itu musuh, tapi gue itu musuh yang tahu diri sama musuh gue. Adakalanya gue harus bener-bener musuhan atau bersaing sama musuh gue, dan adakalanya juga gue harus membantu musuh gue. Dan yang saat ini gue sedang lakuin ke lo itu, adalah opsi yang kedua. Ngerti?" Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Aleta tadi, Nabila langsung memeluk Aleta dengan tulusnya.

Sementara Aleta yang dipeluk tanpa aba-aba pun sempat kaget dengan apa yang dilakukan oleh Nabila saat ini, dan tanpa ia sadar, dirinya membalas pelukan dari Nabila.

"Oh ya tadi kenapa lo manggil gue 'Ta', biasanya njuga 'Al,'' Tanya Aleta dengan heran setelah Nabila melepaskan pelukannya.

"Ya... gue kangen aja manggil lo Ta, Leta.. hehe nggak papa kan?"

"Nggak papa sih, asal lo nggak manggil gue yang aneh-aneh aja,"

Setelah itu mereka berdua kembali fokus dengan tugas mereka masing-masing, dan sesekali mereka terlihat tengah berdebat, yang di ujungnya pasti akan tawa di antara mereka.

***

Sudah genap satu minggu Nabila dan Aleta belajar untuk seleksi lomba sains. Saat ini mereka berdua telah duduk di bangku salah satu kelas yang terlihat sepi karena tidak ada satu pun orang yang ada di sana selain mereka berdua.

Ceklek!

Pintu kelas terbuka menampilkan seorang guru Fisika dengan membawa dua buah kertas yang diyakini itu adalah kertas soal yang akan diberikan oleh Nabila dan Aleta.

"Kenapa duduknya ngga pisah?" Tanya Pak Burhan si guru Fisika.

"Eh iya pak maaf hehe," Ucap Nabila sembari menggeser tubuhnya ke tempat duduk yang berada di sebelahnya tadi.

"Oke. Bapak akan membagi soal ini, dengan catatan kalian harus tertib, dan tidak boleh menyontek satu sama lain," Pak Burhan mulai membagikan soal-soal tersebut kepada Nabila dan Aleta.

"Waktu mengerjakan satu jam dari sekarang"

Nabila dan Aleta sudah mulai mengerjakan soal dengan begitu tenang, dan Aleta sesekali melirik ke arah Nabila yang terlihat sudah mulai frustasi dengan soalnya, tak terasa ujung kedua bibir Aleta terangkat.

"Lo dari dulu nggak pernah berubah, Bil,"

Waktu mengerjakan soal telah selesai 30 menit yang lalu, saat ini Nabila dan Aleta tengah dilanda rasa cemas menunggu hasil tes mereka berdua. Setelah menunggu begitu lama di dalam ruangan Pak Dermawan, akhirnya yang punya ruangan pun masuk dengan membawa dua lembar kertas.

"Gimana, susah?" Tanya Pak Dermawan setelah mendaratkan pantatnya di kursi.

"Hehe lumayan, Pak," Jawab Nabila yang disertai kekehannya. Terdengar helaan nafas dari Pak Dermawan sebelum beliau mulai berbicara.

"Sebenarnya saya susah untuk mengatakan ini..." Pak Dermawan sengaja menggantungkan kalimatnya.

"Tidak papa pak katakan saja, lagian apapun keputusannya Saya dan Nabila sama-sama ikhlas untuk menerimanya," Nabila sedikit kaget ketika Aleta megucapkan kata yang bagi Nabila begitu bijak. Pak Dermawan terlihat tersenyum ke arah mereka berdua.

"Benar apa yang dikatakan mereka, jika kalian sudah mulai ingin berdamai," Nabila dan Aleta tampak terkejut sesaat dengan ucapan Pak Dermawan, dan setelah itu mereka berdua tersenyum dengan manisnya.

"Tapi maaf sekali... bapak... tidak bisa memilih salah satu di antara kalian berdua.." Terlihat jelas saat ini raut muka Nabila dan Aleta sama-sama lesuh ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Pak Dermawan.

"Karena bapak memutuskan untuk mengirim kalian berdua ikut lomba tersebut sama-sama," Lanjut Pak Dermawan. Seketika Nabila dan Aleta langsung mendongak menatap Pak Dermawan tak percaya.

"Hah serius Pak?!"

"Bapak bohong, ya?"

"Tidak, saya tidak bohong, Aleta,"

"Yey!!!!" Seru Nabila dan Aleta bersamaan, dan langsung memeluk satu sama lain.

"Eh, tapi bukannya Bapak bilang kalau lomba itu harus satu orang yang maju?" Tanya Aleta

"Iya pak, lagian kemarin aku lihat lagi di posternya, emang satu orang," Imbuh Nabila.

"Ha ha ha ha..." Tawa Pak Dermawan seketika pecah, sehingga hal tersebut membuat Nabila dan Aleta saling menatap satu sama lain tak mengerti dengan apa yang tengah Pak Dermawan tertawakan.

"Aduh kalian ini, maaf ya itu cuman poster bohongan, ini loh poster benerannya," Kata Pak Dermawan sembari menyodorkan sebuah poster di atas meja.

"Jadi bapak nge-prank kita?" Tanya Nabila yang masih tak mengerti.

"Bukan nge-prank, cuman bapak ingin kalian berdua itu bisa lebih akrab dan damai lagi, biar sekolah kita yang maju ingin semakin maju," Jelas Pak Dermawan kepada kedua muridnya ini agar tidak terjadi salah paham.

"Yaudah pak terima kasih ya pak, berkat bapak saya sama Nabila bisa jadi temen," Nabila pun menatap Aleta dengan senangnya, karena baru saja Aleta bilang jike mereka berdua adalah 'teman'.

"Iya bapak juga ikut seneng, akhirnya kalian bisa akur juga. Padahal kalian itu sama-sama murid yang berprestasi, dan seharusnya kalian itu bisa saking kerja sama biar SMA ini yang udah maju makin maju lagi. Tapi tetap saja Bapak bangga sama kalian berdua," Seulas senyum terbit di wajah Pak Dermawan, membuat Nabila dan Aleta juga ikut tersenyum.

Setelah urusan mereka di ruangan Pak Dermawan selesai, akhirnya Nabila dan Aleta memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Sekolah sudah mulai sepi karena jam pulang sekolah telah berbunyi 2 jam yang lalu, saat mereka berdua baru melakukan tes dari Pak Dermawan. Hanya ada beberapa murid saja yang masih berada di sekolahan untuk mengikuti ekskul.

"Emmm..Ta?" Nabila coba memberanikan diri untuk memanggil nama Aleta, ketika mereka berdua tengah berjalan bersama menuju parkiran sekolah.

"Apa?"

"Maksud lo bilang kalau kita teman apa?" Tanya Nabila dengan suara pelan dengan begitu hati-hati, dan menghentikan langkah Aleta.

"Emang lo nggak mau temen sama gue?" Aleta bertanya begitu santai, tanpa memikirkan kegugupan yang tengah dilanda oleh Nabila.

"Harusnya gue yang tanya gitu, lo mau temen sama gue?"

"Kenapa gue harus nolak?" Ucap Aleta begitu santai.

"Hah jadi lo mau temenan sama gue?!" Tanya Nabila tak percaya. Aleta pun hanya mengedikan bahunya sembari tersenyum kecil.

"Yeyyy Aleta udah mau temenan sama gue!!" Seru Nabila begitu senangnya.

"Udah ah malu dilihatin sama orang, cepet pulang gue laper," Aleta memang lapar karena sedari tadi siang sibuk untuk belajar sehingga melupakan makan siangnya.

"Iya hehe.. lo laper? Yuk ikut gue, bakal gue traktir," Ucap Nabila sembari menarik tangan Aleta.

"Emang lo punya duit?" Tanya Aleta dengan menarik kembali tangannya dari Nabila.

"Punya lah, kalau buat jajan di pinggir jalan mah masih cukup lah hehe," Jawab Nabila dengan menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal.

"Yaudah." Setelah itu Nabila kembali menarik tangan Aleta untuk segera pergi bersamanya.

Bagi Nabila dan Aleta permusuhan itu adalah awal dari sebuah pertemanan. Dan ini lah mereka di mana dulu mereka tidak saling mengenal, bahkan saat mengenal mereka tidak saling berteman, hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti kata hati mereka yang memilih untuk saling memaafkan dan berteman.

Perjalanan seorang Nabila Anjani dan Aleta Sanjaya, dua gadis yang mempunyai otak sama-sama pintar, tetapi memiliki sifat yang bertolak belakang itu akan dimulai dari sini.

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun