Mohon tunggu...
Lady Malinda Ardina
Lady Malinda Ardina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lady

Think to imagine then write to make it real

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bangku Taman

4 Juli 2016   20:38 Diperbarui: 4 Juli 2016   20:46 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rintik hujan sore ini terlihat samar-samar lewat jendela kaca kamarku. Sudah hampir seharian namun tidak terlihat tanda-tanda akan berhenti. Hawa sejuknya membuatku sangat enggan bergerak dari tempat tidur. Sampai suara nyaring mama datang.

“Linda! Sudah sore cepat mandi. Pasti kamu belum bangun ya?”

“Udah bangun, Ma,” sahutku lemas. Dengan sekuat tenaga aku duduk dan mengumpulkan nyawa. Aku meraba-raba meja untuk mencari gelasku, namun praaaankkkk!! Sebuah foto jatuh karena tersenggol. Sontak aku kaget. Untung tidak pecah. Foto itu, menarik kencang memoriku ke peristiwa sebulan yang lalu. Sebuah foto biasa dengan sejuta perasaan di dalamnya.

***

Sebuah pesan masuk. Nomor tidak dikenal.

“Lin,” Kubiarkan saja. 2 pesan selanjutnya datang.

“Lindaaa.”

“Lindaaaaaa,” Nomornya seperti kukenal, tapi siapa ya? Daripada otakku bekerja keras mengingat-ngingat, langsung saja tanganku mengetik.

“Iya, ini siapa, ya?”

“Kamu ikut ke Jakarta, Lin?”

“Iya.”

“Pulangnya kapan, Lin?”

“Kalau tidak macet, sekitar setelah maghrib mungkin.”

“Memangnya macet, ya?” Aku mulai kesal. Ini manusia asing banyak tanya sekali.

“Kapan sih Jakarta tidak macet?

“Haduh kasihan sekali kamu, Lin. Pasti pengap banget, kan, di dalam mobil? Semangat, ya, Lin.” Aku yakin ini pasti laki-laki.

“Iya terima kasih. Kamu siapa, sih? Lalu mengapa kamu menanyakan aku pulang kapan?”

“Aku mau memberikan sesuatu.”

“Apa?”

“Foto. Kalau kamu sudah datang, beri tahu aku lagi, ya.”

Tunggu. Foto? Apa itu foto prom? Kalau pun iya, dia adalah Anhas! Perasaanku berubah tak karuan. Pasti dia ingin membahas surat itu. Tuhan, apa yang harus kukatakan ketika bertemu dengannya?

***

Setelah selesai membersihkan diri, kusergap ponselku.

“Di mana?”

“Bangku depan.”

“Sudah jalan, tunggu saja.”

Kakiku berjalan sambil bergetar. Rasanya seperti ingin diadili dan disidang. Samar-samar kulihat laki-laki berbaju biru yang sangat kukenal. Anhas!

“Kamu jalan dari Jakarta, ya? Lama betul,” sambutnya sambil mengernyitkan dahi.

“Iya tadi macet di tangga.”

“Di tangga atau di depan cermin?” bibirnya menyeringaikan senyum. Aku mati langkah. Aku berusaha agar tidak salah tingkah. Rasanya aku ingin pulang saja

“Oh iya, ini fotonya. Sekalian aku titip juga buat Sonya dan Tika.”

“Laku keras sekali, ya, Anda,” ledekku.

“Hahaha. Ya sudah, duduk dulu, yuk. Kamu pasti capek, kan?” Ajak Anhas. Tidak, Lin, jangan duduk! Atau sebuah percakapan panas akan terjadi. Sepertinya sekeras apapun keinginanku untuk pergi, rasanya tubuhku mudah sekali terbawa oleh tarikan tangan Anhas. Akhirnya aku duduk dengan posisi normal, dan di ujung bangku Anhas duduk menghadapku.

“Bagaimana tadi acaranya? Seru? Anhas masih ingin berbasa-basi.

“Kamu pasti sudah membaca suratnya,” langsung saja kukatakan. Aku ingin cepat menyudahi suasana ini.

“Iya. Kata Ina aku harus membukanya di rumah, tapi karena aku sangat penasaran karena aku sangat jarang menerima surat dan sebuah coklat seperti itu, jadi…”

“Kenapa kamu buka sekarang!” kataku yang sangat gemas dengan pernyataan tak bersalahnya.

“Memangnya asrama tidak bisa kusebut sebagai rumahku?”

“Maksudnya, rumahmu yang ada di Surabaya. Bukan asrama.”

“Tidak ada penjelasan seperti itu, kan?” Anhas menang lagi. Aku makin tersudut. Tidak, aku harus tenang.

“Maafkan aku, Lin.”

“Untuk?”

“Aku merasa sangat brengsek saat ini. Aku… aku tidak… aku tidak pernah berpikir untuk mendekatimu, menyukaimu, atau menjadikanmu sebagai pacar. Aku…”

Aku berusaha menata hatiku agar tidak hancur, toh aku juga sudah memprediksi apa yang akan dia katakan

“Jadi kamu merasa bersalah karena kamu takut membuatku sakit hati?”

“Sepertinya.” Ucapnya lirih.

“Kamu benar-benar merasa semua ini salahmu, begitu?”

“Seandainya aku tidak lebih dekat denganmu seperti saat ini, mungkin semua ini tidak akan terjadi.”

“Apa kamu menyesal berteman denganku?” Anhas terdiam sejenak. Kepalaku penuh spekulasi tentang apa jawaban yang akan ia lontarkan. Apapun itu, aku harus terima.

“Lin, aku sangat senang punya teman wanita sebaik dan selucu kamu. Harus kuakui memang bahwa aku nyaman bersamamu, bermain bersamamu, ya, sebagai teman. Aku pikir semua ini sudah sangat menyenangkan untukku dan untukmu. Tapi sepertinya aku terlalu asyik denganmu dan bertindak lebih dari sekadar teman. Atau aku sedikit banyak memberikan semacam tanda. Aku baru sadar sekarang. Jadi, aku minta maaf.”

“Anhas! Berhenti menyalahkan dirimu sendiri! Kamu pikir aku menginginkan ini juga? Kamu pikir perasaan bisa diatur dan direncanakan kapan dan pada siapa dia datang? Tidak, Has. Ini salahku, seharusnya aku tidak memberikan surat itu dan pertemuan ini tidak akan pernah terjadi dan kamu tidak perlu merasa sebrengsek ini. Seharusnya aku bisa menjaga hati. Seharusnya aku tidak mudah jatuh hati. Seharusnya aku juga merasakan hangatnya persahabatan kita, dan seharusnya aku sudah merasa cukup dengan itu. Aku sangat menyesal,” Rasanya aku ingin segera lari dari tempat itu. Namun tubuhku kaku. Napasku mulai sesak sedikit. Hening. Kucoba mengatur diri kembali, memandangi bulan dan bintang-bintang yang berserakan di sekitarnya, membuat malam ini terlihat ramai di angkasa dan penuh gejolak di bawahnya. Kami. Kami sama-sama punya perasaan. Bukan perasaan cinta, namun rasa bersalah yang besar. Sama-sama berusaha ingin menenangkan namun takut untuk mengungkapkan. Sama-sama beranggapan bahwa ini bukan masalah besar namun hanya bisa diam tanpa penyelesaian. Akhirnya kualami juga perasaan terburuk ini. Aku harap aku bisa mengatasinya, walau sangat ragu.

“Aku sangat besyukur pertemuan ini terjadi. Kita bisa saling terbuka. Apa kamu tidak suka bertemu denganku? Baik, anggap saja tidak ada yang salah, ini hanya terjadi di waktu yang keadaan yang tidak tepat,” Air muka Anhas berubah lebih santai. Aku ikut mencair.

“Has, kamu percaya dengan ‘kebetulan’?”

“Kadang. Mengapa?”

“Awalnya aku percaya. Namun hampir semua kebetulanku adalah kamu. Bersamamu. Semua tugas, proyek, acara, aku selalu bertemu kamu. Anehnya, aku tetap menjadi penggemarmu bahkan saat kita sudah berteman. Aku betah memandangimu saat kamu memandang orang lain. Aku benci mengatakan ini. Aku tidak pernah menyukai seseorang dan tak pernah peduli soal perasaan. Tapi, kamu, bisa meruntuhkan komitmenku. Sulit untuk dipercaya memang. Namun perasaan ini tidak benar jika dibiarkan berkembang. Dengan mengetahui fakta bahwa kamu sudah punya pacar dan sepertinya kita tidak akan satu kampus, aku harap aku bisa melupakanmu. Cinta belum masuk skala prioritasku saat ini. Masih banyak yang harus kukerjakan. Untungnya aku masih punya logika yang sehat yang berkata bahwa perasaan ini bukan untuk diperjuangkan. Aku pikir aku harus mengungkapkannya padamu karena kurasa kita tidak akan bertemu lagi dan aku tidak suka membiarkan diriku sendiri menderita. Jadi jika kamu merasa akan membuatku sakit hati, aku baik-baik saja.”

Anhas tersenyum. “Kamu itu lucu. Aku tahu kamu memang bukan maniak cinta seperti yang lain. Dan kamu masih bisa mengandalkankan logika ketika orang lain saat sedang jatuh cinta logikanya seperti lumpuh total. Hei, Lin, sebenarnya aku sudah tahu kalau kamu punya perasaan padaku sejak lama. Lucu sekali melihatmu berusaha terlihat membenciku padahal kamu sangat menyukaiku. Haha.” Anhas tertawa sangat lepas.

“Jadi kamu anggap semua ini lelucon?” Tentu saja aku marah. Dia sekarang berubah menjadi penjahat di mataku.

“Tidak, Lin, tidak. Jangan marah.” Anhas dengan tawanya yang masih tersisa.

“Dengar, ya. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak ingin menuntutmu untuk menyukaiku juga atau apapun. Aku bahkan tidak peduli apapun respon atau pikiranmu tentangku. Kamu ingin menjauhiku, terserah. Aku hanya ingin semua ini benar-benar selesai dan kembali normal. Cuma itu.”

Pelan-pelan kurasakan tangan Anhas menggenggam tanganku. Hangat dan nyaman sekali rasanya. Dia pasti tahu aku sangat dilema, membuat tanganku sedingin es. Sayangnya, bukan tangan ini yang akan menggenggamku selamanya. Kulihat sorot mata Anhas yang teduh. Ada surga yang selama ini kuidamkan namun tak pernah berusaha kutemukan.

“Lin, apa kamu ingin melupakan semua ini? Maksudku, melupakanku, benar-benar melupakanku seakan aku tak pernah ada di kehidupanmu? Ucapnya lirih.

“Maksud kamu? Aku tidak mengerti ucapanmu.” Sepertinya aku mengerti.

“Dulu, Rahma dan Nida juga sama sepertimu. Awalnya aku sangat dekat dengan mereka sampai perasaan itu berubah. Mereka tidak bisa mengerti perasaanku pada mereka sehingga mereka pergi. Akhirnya kami seperti tidak pernah kenal, dan itu membuatku sangat buruk. Sejak saat itu aku takut punya teman wanita lagi. Aku takut menjadi laki-laki brengsek. Berteman denganmu, adalah kebahagianku yang sempat hilang karena rasa takutku. Aku tidak mau untuk ketiga kalinya aku kehilangan teman. Aku tahu kamu berbeda dari kebanyakan wanita lain. Linda…”

Astaga. Aku mulai lagi berkhayal tinggi. Berkhayal bersamanya. Iya. Dia pantas berkata demikian. Hatiku mulai teriris-iris perasaan untuk tidak egois dan mengikuti keinginannya atau bahkan harus egois dan memenangkan semua emosiku untuk melupakannya.

“Kamu tidak akan pernah kehilanganku. Aku janji. Lagi pula, move on bukan perkara susah bagiku.” Aku tersenyum. Kurasakan napas lega berhembus darinya. Ia menyodorkan jari kelingkingnya.

“Sahabat?”

Kukaitkan jari kelingkingku. “Sahabat!”

Sudah jam 10 malam. Anhas mengantarku sampai depan asrama. Ia memberiku senyuman. Senyuman yang membuatku kesal karena ia masih bisa membuat senyuman yang lebih baik untuk orang lain. Kubalas dengan senyuman ‘aku-baik-baik-saja’ dan sedikit lambaian tangan. Anhas, cepat pergi! Aku sudah tidak tahan lagi! Akhirnya tubuh Anhas berpaling seiring air mataku yang kusimpan sejak tadi menetes satu-satu. Akhir yang bahagia, bukan? Atau tidak, karena kenyataannya aku hancur, sangat hancur. Semuanya palsu. Harusnya kamu tahu, Has, melupakanmu adalah keputusan yang paling tidak bisa kulakukan. Membayangkan bahwa aku harus merasakan semua kepahitan ini sendiri membuatku membenci diriku sendiri. Mengapa harus kamu?

Aku baik-baik saja…

***

Keadaan setelah mandi dengan cuaca dingin ini menjadi favoritku. Aku membuka laptop dan mulai menulis. Lumayan karena tidak ada kerjaan. Tak sampai setengah jam aku menulis, sebuah pesan WhatsApp masuk.

“Haloooo genduuuuut.”

“Cie sekarang sudah punya hp baru ya? Jadi mainnya WhatsApp,bukan SMS lagi wkwk.”

“Kan kamu yang gak mau SMS-an lagi. Dasar pelit pulsa.”

“Biarin. Bagus deh jadi aku gak perlu buang uang buat beli pulsa lagi. Haha.”

“Kamu sedang apa?”

“Menulis cerita.”

“Tentang?”

“Kamu.”

“Kamu pasti nulis yang jelek-jelek deh tentang aku.”

“Bahkan aku bingung sisi positif apa yang harus aku tulis tentang kamu. Haha.”

I miss this kinda sarcasm. Menurutku, sarkasmemu sangat seksi.”

Membaca kata ‘seksi’ itu, rasanya aku seperti ditelanjangi seketika. Malu dan geram. “Rasanya aku ingin mencongkel isi kepalamu!”

“Jangan kaget, ya, kalau nanti kamu menemukan sebuah bagian yang semua tertulis namamu.”

Aku tersenyum saja. Dasar manusia Anhas. Manusia yang terlalu berharga untuk dilupakan. Sahabatku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun