“Jadi kamu merasa bersalah karena kamu takut membuatku sakit hati?”
“Sepertinya.” Ucapnya lirih.
“Kamu benar-benar merasa semua ini salahmu, begitu?”
“Seandainya aku tidak lebih dekat denganmu seperti saat ini, mungkin semua ini tidak akan terjadi.”
“Apa kamu menyesal berteman denganku?” Anhas terdiam sejenak. Kepalaku penuh spekulasi tentang apa jawaban yang akan ia lontarkan. Apapun itu, aku harus terima.
“Lin, aku sangat senang punya teman wanita sebaik dan selucu kamu. Harus kuakui memang bahwa aku nyaman bersamamu, bermain bersamamu, ya, sebagai teman. Aku pikir semua ini sudah sangat menyenangkan untukku dan untukmu. Tapi sepertinya aku terlalu asyik denganmu dan bertindak lebih dari sekadar teman. Atau aku sedikit banyak memberikan semacam tanda. Aku baru sadar sekarang. Jadi, aku minta maaf.”
“Anhas! Berhenti menyalahkan dirimu sendiri! Kamu pikir aku menginginkan ini juga? Kamu pikir perasaan bisa diatur dan direncanakan kapan dan pada siapa dia datang? Tidak, Has. Ini salahku, seharusnya aku tidak memberikan surat itu dan pertemuan ini tidak akan pernah terjadi dan kamu tidak perlu merasa sebrengsek ini. Seharusnya aku bisa menjaga hati. Seharusnya aku tidak mudah jatuh hati. Seharusnya aku juga merasakan hangatnya persahabatan kita, dan seharusnya aku sudah merasa cukup dengan itu. Aku sangat menyesal,” Rasanya aku ingin segera lari dari tempat itu. Namun tubuhku kaku. Napasku mulai sesak sedikit. Hening. Kucoba mengatur diri kembali, memandangi bulan dan bintang-bintang yang berserakan di sekitarnya, membuat malam ini terlihat ramai di angkasa dan penuh gejolak di bawahnya. Kami. Kami sama-sama punya perasaan. Bukan perasaan cinta, namun rasa bersalah yang besar. Sama-sama berusaha ingin menenangkan namun takut untuk mengungkapkan. Sama-sama beranggapan bahwa ini bukan masalah besar namun hanya bisa diam tanpa penyelesaian. Akhirnya kualami juga perasaan terburuk ini. Aku harap aku bisa mengatasinya, walau sangat ragu.
“Aku sangat besyukur pertemuan ini terjadi. Kita bisa saling terbuka. Apa kamu tidak suka bertemu denganku? Baik, anggap saja tidak ada yang salah, ini hanya terjadi di waktu yang keadaan yang tidak tepat,” Air muka Anhas berubah lebih santai. Aku ikut mencair.
“Has, kamu percaya dengan ‘kebetulan’?”
“Kadang. Mengapa?”
“Awalnya aku percaya. Namun hampir semua kebetulanku adalah kamu. Bersamamu. Semua tugas, proyek, acara, aku selalu bertemu kamu. Anehnya, aku tetap menjadi penggemarmu bahkan saat kita sudah berteman. Aku betah memandangimu saat kamu memandang orang lain. Aku benci mengatakan ini. Aku tidak pernah menyukai seseorang dan tak pernah peduli soal perasaan. Tapi, kamu, bisa meruntuhkan komitmenku. Sulit untuk dipercaya memang. Namun perasaan ini tidak benar jika dibiarkan berkembang. Dengan mengetahui fakta bahwa kamu sudah punya pacar dan sepertinya kita tidak akan satu kampus, aku harap aku bisa melupakanmu. Cinta belum masuk skala prioritasku saat ini. Masih banyak yang harus kukerjakan. Untungnya aku masih punya logika yang sehat yang berkata bahwa perasaan ini bukan untuk diperjuangkan. Aku pikir aku harus mengungkapkannya padamu karena kurasa kita tidak akan bertemu lagi dan aku tidak suka membiarkan diriku sendiri menderita. Jadi jika kamu merasa akan membuatku sakit hati, aku baik-baik saja.”