Kukaitkan jari kelingkingku. “Sahabat!”
Sudah jam 10 malam. Anhas mengantarku sampai depan asrama. Ia memberiku senyuman. Senyuman yang membuatku kesal karena ia masih bisa membuat senyuman yang lebih baik untuk orang lain. Kubalas dengan senyuman ‘aku-baik-baik-saja’ dan sedikit lambaian tangan. Anhas, cepat pergi! Aku sudah tidak tahan lagi! Akhirnya tubuh Anhas berpaling seiring air mataku yang kusimpan sejak tadi menetes satu-satu. Akhir yang bahagia, bukan? Atau tidak, karena kenyataannya aku hancur, sangat hancur. Semuanya palsu. Harusnya kamu tahu, Has, melupakanmu adalah keputusan yang paling tidak bisa kulakukan. Membayangkan bahwa aku harus merasakan semua kepahitan ini sendiri membuatku membenci diriku sendiri. Mengapa harus kamu?
Aku baik-baik saja…
***
Keadaan setelah mandi dengan cuaca dingin ini menjadi favoritku. Aku membuka laptop dan mulai menulis. Lumayan karena tidak ada kerjaan. Tak sampai setengah jam aku menulis, sebuah pesan WhatsApp masuk.
“Haloooo genduuuuut.”
“Cie sekarang sudah punya hp baru ya? Jadi mainnya WhatsApp,bukan SMS lagi wkwk.”
“Kan kamu yang gak mau SMS-an lagi. Dasar pelit pulsa.”
“Biarin. Bagus deh jadi aku gak perlu buang uang buat beli pulsa lagi. Haha.”
“Kamu sedang apa?”
“Menulis cerita.”