“Bagaimana tadi acaranya? Seru? Anhas masih ingin berbasa-basi.
“Kamu pasti sudah membaca suratnya,” langsung saja kukatakan. Aku ingin cepat menyudahi suasana ini.
“Iya. Kata Ina aku harus membukanya di rumah, tapi karena aku sangat penasaran karena aku sangat jarang menerima surat dan sebuah coklat seperti itu, jadi…”
“Kenapa kamu buka sekarang!” kataku yang sangat gemas dengan pernyataan tak bersalahnya.
“Memangnya asrama tidak bisa kusebut sebagai rumahku?”
“Maksudnya, rumahmu yang ada di Surabaya. Bukan asrama.”
“Tidak ada penjelasan seperti itu, kan?” Anhas menang lagi. Aku makin tersudut. Tidak, aku harus tenang.
“Maafkan aku, Lin.”
“Untuk?”
“Aku merasa sangat brengsek saat ini. Aku… aku tidak… aku tidak pernah berpikir untuk mendekatimu, menyukaimu, atau menjadikanmu sebagai pacar. Aku…”
Aku berusaha menata hatiku agar tidak hancur, toh aku juga sudah memprediksi apa yang akan dia katakan