Anhas tersenyum. “Kamu itu lucu. Aku tahu kamu memang bukan maniak cinta seperti yang lain. Dan kamu masih bisa mengandalkankan logika ketika orang lain saat sedang jatuh cinta logikanya seperti lumpuh total. Hei, Lin, sebenarnya aku sudah tahu kalau kamu punya perasaan padaku sejak lama. Lucu sekali melihatmu berusaha terlihat membenciku padahal kamu sangat menyukaiku. Haha.” Anhas tertawa sangat lepas.
“Jadi kamu anggap semua ini lelucon?” Tentu saja aku marah. Dia sekarang berubah menjadi penjahat di mataku.
“Tidak, Lin, tidak. Jangan marah.” Anhas dengan tawanya yang masih tersisa.
“Dengar, ya. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak ingin menuntutmu untuk menyukaiku juga atau apapun. Aku bahkan tidak peduli apapun respon atau pikiranmu tentangku. Kamu ingin menjauhiku, terserah. Aku hanya ingin semua ini benar-benar selesai dan kembali normal. Cuma itu.”
Pelan-pelan kurasakan tangan Anhas menggenggam tanganku. Hangat dan nyaman sekali rasanya. Dia pasti tahu aku sangat dilema, membuat tanganku sedingin es. Sayangnya, bukan tangan ini yang akan menggenggamku selamanya. Kulihat sorot mata Anhas yang teduh. Ada surga yang selama ini kuidamkan namun tak pernah berusaha kutemukan.
“Lin, apa kamu ingin melupakan semua ini? Maksudku, melupakanku, benar-benar melupakanku seakan aku tak pernah ada di kehidupanmu? Ucapnya lirih.
“Maksud kamu? Aku tidak mengerti ucapanmu.” Sepertinya aku mengerti.
“Dulu, Rahma dan Nida juga sama sepertimu. Awalnya aku sangat dekat dengan mereka sampai perasaan itu berubah. Mereka tidak bisa mengerti perasaanku pada mereka sehingga mereka pergi. Akhirnya kami seperti tidak pernah kenal, dan itu membuatku sangat buruk. Sejak saat itu aku takut punya teman wanita lagi. Aku takut menjadi laki-laki brengsek. Berteman denganmu, adalah kebahagianku yang sempat hilang karena rasa takutku. Aku tidak mau untuk ketiga kalinya aku kehilangan teman. Aku tahu kamu berbeda dari kebanyakan wanita lain. Linda…”
Astaga. Aku mulai lagi berkhayal tinggi. Berkhayal bersamanya. Iya. Dia pantas berkata demikian. Hatiku mulai teriris-iris perasaan untuk tidak egois dan mengikuti keinginannya atau bahkan harus egois dan memenangkan semua emosiku untuk melupakannya.
“Kamu tidak akan pernah kehilanganku. Aku janji. Lagi pula, move on bukan perkara susah bagiku.” Aku tersenyum. Kurasakan napas lega berhembus darinya. Ia menyodorkan jari kelingkingnya.
“Sahabat?”