Setelah selesai membersihkan diri, kusergap ponselku.
“Di mana?”
“Bangku depan.”
“Sudah jalan, tunggu saja.”
Kakiku berjalan sambil bergetar. Rasanya seperti ingin diadili dan disidang. Samar-samar kulihat laki-laki berbaju biru yang sangat kukenal. Anhas!
“Kamu jalan dari Jakarta, ya? Lama betul,” sambutnya sambil mengernyitkan dahi.
“Iya tadi macet di tangga.”
“Di tangga atau di depan cermin?” bibirnya menyeringaikan senyum. Aku mati langkah. Aku berusaha agar tidak salah tingkah. Rasanya aku ingin pulang saja
“Oh iya, ini fotonya. Sekalian aku titip juga buat Sonya dan Tika.”
“Laku keras sekali, ya, Anda,” ledekku.
“Hahaha. Ya sudah, duduk dulu, yuk. Kamu pasti capek, kan?” Ajak Anhas. Tidak, Lin, jangan duduk! Atau sebuah percakapan panas akan terjadi. Sepertinya sekeras apapun keinginanku untuk pergi, rasanya tubuhku mudah sekali terbawa oleh tarikan tangan Anhas. Akhirnya aku duduk dengan posisi normal, dan di ujung bangku Anhas duduk menghadapku.