Dengan gemetar, Pelayan itu menjawab takut. "I.. i.. iya, Tuan!."
Huss!, huss!, huss!. Pelayan berusaha mengusir si kucing.
Kucing tak mau beranjak malah merapat ke tembok. Miaaau, miaaauuu, miaaauuu, kami cuma minta tulangnya saja, Tuan... dagingnya biar Tuan makan sepuasnya, kasihani kami... kasihan anak-anak kami yang lapar, miiiauu miaaauuu."
Digetoknya kucing itu dengan gagang sapu. Sekali getok, kucing itu masih diam tak beranjak. Setelah beberapa kali dan dengan getokkan yang makin keras akhirnya kucing itu bergeser.
Di depan pintu warung, kucing itu masih mengiba, mengharap belas kasih manusia. Miaaauuuu, kasihani kami, Tuaaan, kami lapaaarrr.
Diambilnya air yang ada didalam panci dengan gayung lalu disiramkan ke arah kucing. Uff!, si pelayan telah salah ambil air. Ternyata yang disiramkan adalah air panas yang baru saja matang.
Kucing kampung itu kaget. Miaaaw!. Karena kaget dan kepanasan, kucing itu terloncat lalu berlari serabutan ke tengah jalan. Mobil sedan yang melaju kencang seketika itu juga menggilasnya tanpa ampun.
Telah terjadi tabrak lari. Jangankan pada kucing, pada sesama manusia saja banyak orang yang tidak perduli. Si penabraknya tidak perduli dan orang-orang yang melihatnya ikut tidak perduli. Masa bodoh!, cari aman saja, gak mau terlibat, gak mau jadi saksi, wah repot urusannya nanti, sejuta alasan yang kita cipta karena jiwa kita yang "sakit".
Di seberang jalan, lima ekor anak kucing menangis melihat Ibu tercintanya meninggal tragis. Miaaauuuw, miaaauuw, Tuhan, Tuhan dimanakah Kau?."
******
Lelaki tua berpakaian lusuh. Dengan tongkat yang menopang kaki kanannya. Walaupun telah ia topang, tetap saja ia seret-seret kakinya yang sudah tak bisa bergerak itu.